Suara gesekan roda brangkar dan lantai putih di sepanjang koridor rumah sakit mengiringi derap langkah kaki yang kian cepat. Deru napas yang memburu, dwimanik yang menajam, membelah keramaian para pengunjung siang itu.
Langkah kaki-kaki itu melambat ketika pintu kaca besar terbuka secara otomatis, wangi alkohol menyeruak seiring melebarnya pintu kaca bertuliskan Instalasi Gawat Darurat—IGD—tersebut.
Dua orang kembali mendorong brangkar ke dalam, sementara seorang lainnya bertahan pada pijakan kakinya.
Adhisa Nirmala.
Nama itu tertulis pada papan nama kecil berwarna hijau di dada kirinya.
Nirmala menghela napas panjang setelah pintu IGD tertutup rapat, lalu menurunkan masker hijau yang dia kenakan hingga ujung dagu.
Cewek berusia 20 tahun itu bukan keluarga dari korban kecelakaan motor yang baru saja masuk ruangan itu, melainkan mahasiswi keperawatan tingkat akhir yang sedang melaksanakan tugas praktek terakhirnya di rumah sakit ini.
Langkah tertatih membawanya duduk di bangku stainless di ujung lorong.
Netra legam itu menatapi telapak tangannya yang memerah, pertanda baik—bahwa dia sudah berusaha semaksimal mungkin mendorong brangkar tadi. Sudut bibirnya terangkat, memberikan apresiasi atas kebaikan yang telah dia lakukan untuk orang lain hari ini.
"Kerja bagus, Nala."
Nala, adalah nama akrabnya.
Nala meluruskan kaki pendeknya, hingga netranya menangkap noda merah di ujung seragam putih yang dia kenakan.
"Yah, kena darah lagi kan." Nala meratapi seragam kebanggaannya yang lagi-lagi terkena darah pasien.
Entah karena terlalu ceroboh atau sudah menjadi hobi, hampir setiap hari Nala mengotori seragamnya dengan cairan tubuh pasien; darah, pus, urin, feses, dan sebagainya. Dan mencuci baju sepulang praktik menjadi kegiatan rutinnya.
Sepasang sepatu kets merah dengan tali kuning yang berhenti tepat di depan ujung kakinya membawa netra Nala terangkat hingga lehernya tertarik maksimal, berusaha menemukan wajah si pemilik sepatu warna-warni itu.
Seorang cowok jangkung dengan rambut hitam agak berantakan tertangkap netra Nala. Jaket denim yang bolong dibagian siku kanan dan dada kirinya tidak kalah mencolok dari sepatu kets merah dan tali kuning yang dia kenakan.
"Lo liat temen-temen gue gak lewat sini?"
Cowok pemilik sepatu itu mengedarkan pandangannya ke sekitar, sementara Nala mengerutkan dahinya, pun seraya menatap ke sekelilingnya, namun dengan maksud yang berbeda.
Jika cowok itu sedang mencari teman-teman yang dia maksud, Nala justru mencari orang lain di sekitar mereka, yang mungkin sedang diajak bicara oleh cowok itu, tapi nyatanya disana hanya ada Nala dan si pemilik sepatu kets merah.
"Lo budek?" Cowok jangkung itu kini menaruh atensi penuh pada Nala yang tengah membalas tatapannya dengan sorot bingung.
"Kamu nanya aku?"
Cowok itu merotasi bola matanya, jengah. "Lo gak liat disini cuma ada gue sama lo? Lo pikir gua lagi ngomong sama penunggu IGD?"
"Dih, kok galak?"
Nada bicara Nala masih sama, rendah, begitu kontras dengan lawan bicaranya. Harusnya Nala juga meninggikan suara kan? Tapi bukan Adhisa Nirmala jika dia membalas demikian.
Cowok itu menatap tajam Nala dengan mata elangnya, kemudian berdecak di detik ke 10.
"Gak jelas lo, Adhisa."
Sepatu kets merah itu terayun menjauh, melangkah angkuh, berlalu, meninggalkan Nala dengan kerutan yang semakin bertambah tiap kali bibir tebal cowok itu terbuka.
"Kok dia kenal aku?"
▪︎▪︎▪︎
Divisualisasikan oleh :
Nala
Lava
Jio
■■■
Barangkali ada yang rindu.
Aku re-publish, dengan nama baru, dan akan ada penambahan cerita juga.
Dan ending yang berbeda, mungkin?
HeheSalam rindu, dari aku yang hampir setahun sembunyi.
Salam rindu, dari aku jiefairy yang sekarang berganti jadi softstarlightz ♡
Start. 15 Maret 2018
End. 30 Mei 2018
Republish. 04 November 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangsal 9
Short StoryAda cerita di bangsal nomor 9, tentang bertahan dan melepaskan.