Bagian 3

890 171 62
                                    

"Sumpah ya, kemarin lusa waktu gua dines malem, terus nyuci alat, ada yang ngetokin lemari atas tapi dari dalem. Gewla!!!" Felix mengusap kedua lengannya seraya menggelengkan kepalanya bersamaan. "Nih, nih! Bulu-bulu gua sampe berdiri!"

Felix, Sarah dan Ari sedang marathon cerita mistis yang pernah mereka alami selama dinas di beberapa rumah sakit sebelumnya, sementara Nala hanya menjadi tim pendengar, karena tidak pernah mengalami dan berharap tidak akan pernah mengalaminya.

Nala benci konversasi ini, tapi dia tidak bisa pergi, karena dia tidak berani dan tidak tahu harus kemana. Nala benci bagaimana teman-temannya selalu membahas tentang ruang alat itu, karena bagaimana pun dia akan mendatangi ruangan itu hingga 3 minggu ke depan.

Hari ini adalah hari keempat mereka—mahasiswa perawat dan koas—bersama, jadi mereka sudah cukup akrab untuk berbaur.

Shift malam adalah alasan mereka mengambil tema obrolan ini, setelah 15 menit berdebat menentukan tema, atau lebih tepatnya hanya Nala yang bersikukuh menolak tema ini. Tentu saja tidak ada alasan lain selain karena dia penakut.

"Terus lu buka gak lemarinya?" Ari sedikit penasaran dengan kengerian ruang alat, tapi selama 4 hari ini, Ari merasa aman-aman saja setiap kali masuk ke sana.

"Ogah banget gewla! Nanti muka Sarah yang nongol disana." Felix mendapat tamparan keras di lengannya, tentu saja dari si pemilik nama yang dijadikan bahan ledekannya.

"Lu yang setan, jing!"

Nala tertawa lepas, nasib baik karena Felix tidak menyebut namanya.

"Tapi segitu mah gua gak ada apa-apanya dibanding Gema yang dicolek pas lagi mau ngambil alat sih kak, hiyyy!"

Ari mengerutkan dahi dan wajahnya bersamaan, membayangkan apa yang dirasakan Gema kala itu. "Yaudah pokoknya ambil alat, cuci alat, semua yang berhubungan dengan alat itu tugas kalian sebagai perawat!"

"WEYYY!!!!!!!!" Seru Felix, Sarah dan Nala kompak.

"Ssst!" Sarah lebih dulu menyadari waktu. Jam menunjukan pukul 1 malam, bisa-bisa mereka kena marah senior yang sudah tertidur. "Gua juga ada cerita nih!"

Nala memutar bola matanya malas, sebenarnya dia sudah mengantuk, tapi mereka berempat sudah berjanji untuk tetap terjaga hingga pergantian shift jam 7 pagi nanti.

Koass satu lagi? Zen Lava. Cowok itu pasti sudah sampai di Neverland—tidur.

▪︎

Malam telah berganti, tersisa Nala dengan setumpuk rasa rindu pada bantal dan tempat tidurnya.

Waktu menunjukan pukul 6 lebih 30 menit, ketiga rekan gilanya tertidur di meja resepsionis sejak pukul 5 pagi, sementara Nala tak mampu melayangkan jiwanya ke alam mimpi bahkan untuk sekedar menenggelamkan sepasang kenari hitamnya pun Nala tidak bisa—karena sudah terlampau terlambat.

"Cuci muka bisa kali, serem amat kayak zombie." Lava menyapa Nala dengan caranya. "Pasien bisa pada kejang liat muka lo."

'Sabar, Nala. 30 menit lagi.'

Karena tidak ada pilihan selain bersabar menghadapi berandalan sipit ini.

Lava berdiri di depan meja resepsionis, dengan sebuah stetoskop biru yang dia kalungkan di lehernya, juga setumpuk rekam medik yang baru saja dia letakan di atas meja. Lava sudah siap mengobservasi seluruh pasien pagi ini.

Usai membasuh wajah lelahnya, Nala bergegas menghampiri Lava yang hampir mengobservasi setengah dari keseluruhan pasien.

"Cuci muka apa mandi? Lama amat."

Bangsal 9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang