Menurut mereka yang sudah mengenal dekat Lia pun, tidak akan percaya kalau ia memang sudah sepenuhnya berubah. Bagaimana bisa seorang gadis manja dan selalu merengek apabila keinginannya tidak terpenuhi. Berubah dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Padahal sifatnya itu sudah mendarah daging dalam dirinya.Namun semakin banyak yang tidak percaya, semakin kuat pula tekadnya.
Cukup sudah kesabarannya selama ini. Bagaimana tidak, tangisnya pecah sampai tak tersisa lagi. Hatinya terpukul jika mengingat bagaimana nenek sihir itu mengumbar kejelekannya di muka umum. Bahkan tak sedikit yang dilebih-lebihkan. Lia heran pada orang satu itu, apa mulutnya tidak lelah terus menerus berceloteh di setiap penjuru sekolah hanya untuk mencelanya. Orang itu memang tepat jika dijuluki nenek sihir.
Dulu nenek sihir itu adalah salah satu teman baiknya, bahkan sangat dekat. Benar kata pepatah, sayangilah teman sewajarnya dan bencilah musuh seperlunya. Karena mereka tidak akan tahu kalau takdir akan membalikkan hati mereka di kemudian hari.
Lia tidak memungkiri, sifat manjanya memang sudah melekat pada dirinya. Namun ia percaya, tekad akan mengalahkan semuanya. Lia yakin bisa berubah menjadi lebih baik. Jika dibandingkan dulu, kini ia lebih bisa mengontrol emosinya. Memilah kata sebelum berucap. Memilih mana yang bisa diumbar atau yang hanya sekedar dipendam sendiri.
• • • •Tak terasa tinggal seminggu lagi kepergianku. Tekadku sudah bulat. Kini aku sudah memutuskan jalan hidupku. Aku sudah tau konsekuensi dari setiap hal yang aku pilih. Meski keputusanku untuk kuliah di luar kota sangat ditolak kedua orang tuaku. Dengan berjalannya waktu mungkin prinsip mereka akan terkikis juga.
Udara pagi memang selalu menyejukkan jiwa. Seperti biasa, aku menyusuri taman belakang rumah. Untuk sekedar merefress kembali otakku yang penat dalam rutinitas. Setelah letih berolah raga pagi.
Beragam bunga tumbuh di sana. Menyuguhkan pemandangan yang indah. Pot yang tersusun rapi. Memperlihatkan bahwa taman ini cukup terurus.
Kakiku melangkah mengikuti bebatuan kecil yang mengantarkan ke gazebo. Ku hempaskan tubuhku di salah satu kursi. Mengedarkan pandangan menyisir seluruh taman. Bibirku mengembang. Memperlihatkan gigi kelinci yang tersusun rapi. Tanpa disadari seseorang telah mengisi kursi di sampingku.
“Kau akan merindukannya jika kau pergi.” Aku melirik asal sumber suara. Ternyata itu mama.
“Ya, sangat.”
“Kau tau, kau tak perlu melakukannya kalau begitu.” Aku tahu percakapannya akan menjurus ke arah itu. Maka sebelumnya sudah jauh-jauh hari ku siapkan jawabannya.
“Lia ga mau dijadiin boneka di keluarga ini.” Ucapku sembari memperhatikan setiap reaksi mama.
“Mama ga jadiin kamu boneka Li. Kenapa kamu berpikir seperti itu? Boneka dipajang sebagai hiasan semata. Tapi kamu engga Li. Mama ga batasi apapun mimpi kamu.”
Nice.
Aku bersorak dalam hati. Mama memakan umpan yang diberikan.
“Nah mama tau betul itu. Kalau mama ga izinin Lia sama aja dengan membatasi mimpi Lia.”
Mega tak mengerti dengan pemikiran anaknya. Ia tahu Lia memang sangat ingin mandiri. Namun alasan dibalik sikapnya itu yang justru ia takuti. Gegabah namanya mengikuti amarah semata. Bahkan gelagat Lia akhir-akhir ini berubah. Ia seperti kehilangan dirinya. Keceriaannya seolah ditelan bumi. Kini hanya menyisakan Lia yang pemurung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memorial Day
RomanceDelia Kintan Hidup adalah waktu. Dimana tak pernah berhenti, terus bergulir mengikuti arusnya. Tidak pernah tahu apa yang akan menghadang. Entah apa yang sedang menunggunya di depan. Lia terkadang merasa hidup ini berjalan klise...