Senja

248 28 19
                                    

Naik bianglala, tinggi memandang kota. Berada di puncak sekian detik, lalu kembali turun perlahan-lahan. Shuuzou dan Chihiro memilih kencan di pasar malam. Sudah membeli permen kapas, bermain tembak-tembakan, juga menangkap ikan menggunakan jaring kertas yang sesungguhnya takkan mampu digunakan untuk mengangkat bobot dari si ikan.

Jarang-jarang Chihiro terjaga sampai hampir tengah malam kalau bukan karena bekerja atau bergulat seru di atas ranjang. Senyum nyaris kasat mata melengkung samar di bibir tipis yang sedikit kering juga tampak pucat.

Chihiro meringis, nyeri di bagian hati. Dadanya mulai sesak pun kepalanya yang mendadak pening. Meski semua itu sama sekali tak tampak pada wajah datar, miskin ekspresi.

Chihiro tahu bahwa mempertahankan hubungannya dengan Shuuzou kali ini adalah sebuah kemustahilan. Terlalu banyak kerikil juga tebing terjal yang terlampau sulit ditaklukkan. Tak cukup dengan hanya membereskan satu masalah. Karena setelahnya masalahnya akan datang lagi seperti jamur di musim penghujan. Subur tumbuh seakan-akan terus beregenerasi.

Kalau ia egois, yang terluka bukan saja dirinya. Namun juga Shuuzou, dan keluarganya.

"Kalau kauingat, dulu kaupernah bilang bahwa hubungan kita ini bukan hubungan biasa yang penuh romansa juga bumbu-bumbu kasmaran di setiap titiknya. Kita bersama untuk saling memperjuangkan. Mendukung satu sama lain, sebisa mungkin agar tak sampai melepaskan."

Ia jarang bicara sepanjang ini, dan Chihiro mendadak gugup. Juga kaku. Apalagi diamnya Shuuzou semakin menikam perasaan.

Apa artinya diam itu?

"Tapi kini aku sudah tak sanggup untuk terus menggenggammu—mempertahankanmu," lanjut Mayuzumi. "Terlalu banyak luka yang timbul dan belum sempat terobati."

Kalau diam itu pertanda bahwa Shuuzou menerima, linu juga nyeri di hatinya kini makin menyebar dan membuat punggungnya melengkung layu. Susah menegak.

"Dulu aku sering memukuli adik kelasku yang gemar membolos latihan," tiba-tiba Shuuzou angkat bicara. "Memastikannya tak lagi bolos, memberikan berbagai hukuman berat yang jika kupikir sekarang itu sungguh berlebihan."

"..."

"Rumornya aku ini seorang yang sadis. Meski pada kenyataanya aku ini mendekati titik masokhis. Kedua pilihan ini sakit dan menyakitkan, Chihiro."

Ia membenarkan apa yang disampaikan oleh Shuuzou.

"Jika kita egois dan tetap bersama, kita akan terluka parah. Baik itu pada hati atau bagian yang lain," menarik napas guna menghimpun tekad. Ia tak bisa mundur. Shuuzou pun sebenarnya sudah tak sanggup untuk mempertahankan Chihiro tanpa harus terluka dan berdarah-darah. "Berpisah pun kita terluka."

"Kau benar, Shuuzou."

Tertawa parau, Shuuzou tak mampu tegar dalam kondisi ini. Hatinya diremukkan, lalu dijadikan serpihan yang tak bisa kembali jadi utuh. Bagian dalam dirinya sudah mulai sekarat dan perlu pertolongan, "Kita sudah sama-sama dewasa, Chihiro. Kita tak mungkin terus menerus menjalankan cerita cinta gila di mana dunia serasa milik berdua dan eksistensi yang lain tak ubahnya debu di pojokan lemari—tak ada arti. Mungkin kita akan memerlukan waktu yang lama untuk mengobati hati. Baik aku ataupun dirimu, kita akan terluka dengan sama parah juga sama pedih."

Ini semakin mendekati akhir tragis. Chihiro tak pernah mau membayangkan ujung yang seperti ini dulu. Benar kata Shuuzou, dulu cinta mereka gila dan benar-benar mengikis logika. Tapi waktu telah mendewasakan keduanya.

Tak mau memandang raut wajah sang kekasih, pemandangan di luar dijadikan pelarian oleh manik kelabu. Menatap apa saja yang bisa ditatap.

"Aku tak bisa membiarkan harga diriku terluka dengan menerima kenyataan bahwa aku diputuskan," luka karena mengakhiri akan ditanggung Chihiro. Selama ini Shuuzou sudah terlalu banyak disakiti, "Kita usai, Shuuzou."

Bad AlphaWhere stories live. Discover now