Menjelang Akhir

224 25 11
                                    


***

Shuuzou berpacu dengan malam gelap yang mulai menyelimuti semesta. Menggendong Chihiro dan meninggalkan kedua kuda. Menuruni jalanan terjal untuk mencapai sebuah gubuk yang terlihat. Cukup kuat meski ada badai ganas yang akan mengamuk semalaman.

Chihiro luka-luka setelah bergulingan di atas tanah yang tak seempuk kasur kapuk. Lecet pada banyak bagian, menimbulkan baret luka yang takkan hilang dalam waktu singkat. Tapi, Chihiro adalah salah satu pria tangguh, terbukti dari kesadarannya yang masih tetap di permukaan dan tak terkikis meski kepalanya beberapa kali terbentur batang pohon.

"Bocchan, tetap buka matamu. Ini siapa? Kau bisa melihat orang tampan yang menggendongmu ini, 'kan?"

Wajah Chihiro berubah masam, narsisnya Shuuzou memang memuakkan. Kalau tangannya tak terkilir—sepertinya sih patah—ingin ia tonjok saja biar ekspresi kelewat menyebalkan di wajah si surai arang menghilang.

"Aku melihat wajah kelewat memuakkan, sampai-sampai aku mau membunuhnya. Apa aku baik-baik saja?" Jawab Chihiro dengan nada sarkas.

Menghela napas lega, Shuuzou nyaris terpeleset saat kaki menginjak batuan berlumut. Beruntung kuda-kudanya cukup kuat sehingga ia tak jatuh. "Mulut Anda masih pedas, Bocchan. Berarti Anda baik-baik saja."

Pintu reyot dengan decit mengerikan ia tendang hingga terbuka, siapa peduli dengan tata krama jika mereka perlu tempat berlindung segera. Bau lembap mengusik penciuman, Shuuzou dan Chihiro yang ada dalam gendongan melangkah masuk ke dalam.

Ada sebuah dipan di ujung ruang, dengan lemari butut berpintu dua dan sebuah meja di tengah-tengah. Sepertinya ini tempat persinggahan dari kawanan pemburu. Bau mesiu samar yang nyaris hilang menandakan bahwa tempat ini sudah cukup lama tak ditinggali.

Menurunkan Chihiro dengan hati-hati, sebelumnya ia memastikan tak ada paku yang bisa melukai punggung si tuan muda, atau kotoran yang bisa bikin Chihiro gatal-gatal. Kulit Chihiro itu halus, mirip pantat bayi. Enak dibuat merah dengan tubian ciuman. Menggeleng sekali, Shuuzou menyingkirkan pikiran kotor tapi nikmat yang bisa bikin bergairah.

Memindai keadaan, saat mencari-cari kayu bakar yang ia harapkan ditinggal oleh penghuni terdahulu, suara guntur dan angin ribut di luar terdengar. Percikan air yang mengingatkkan pada mesin penyemprot air di tempat pencucian mobil membuat Shuuzou bergegas menutup semua celah. Hanya pintu, sih.

Ia berharap atap gubuk ini tak ada yang bocor. Atau udara akan semakin mendingin di dalam sini, sementara dirinya tak bisa menyalakan api guna menghangatkan badan.

"Sepertinya tak ada kayu bakar," lewat ekor mata, Chihiro melirik. Tampak kurang minat. "Kalau mencari keluar pun, semuanya pasti sudah basah."

Mengangguk-anggukkan kepala. Bibir yang sudah maju sejak awal semakin dimajukan saat otaknya semakin keras digunakan berpikir. Semakin maju ke depan, semakin keras ia berpikir. Tidak sinkron.

"Apa kau kedinginan, Bocchan?"

Chihiro mengangguk sekali, wajahnya tetap datar. Kalau berekspresi lebih atau banyak bicara, luka di sudut bibir akan terasa perih. Seperti dibuka. Kemudian terasa berdesir saat dibelai angin malam yang menerobos lewat celah-celah kecil yang terlalu banyak jika harus ditutup satu per satu.

Mungkin karena Chihiro itu putih—lebih tepatnya kelabu pudar—Shuuzou masih jelas melihat si pria kala mengangguk, mengiyakan. Berjalan menuju lemari yang tampak masih lumayan bagus. Shuuzou membuka kedua pintu, terbatuk pelan saat debu mengepul berhasil membuat hidung dan tenggorokan jadi gatal. Mata menyipit, melihat apa yang bisa ditemukan. Shuuzou batuk-batuk beberapa kali.

Bad AlphaWhere stories live. Discover now