Kapitolus II; Elegy

16 6 14
                                    

Desa Jackia Ornate, Pinot Gris, 9 September 1745 M.

"Dimana, Dad?"

"Kapan Dad pulang?"

"Mom, aku merindukan Dad."

Cecillia memijat pelipisnya sekilas, lalu memegang leher gelas gelisah, matanya menatap sendu lelaki yang kini ada di depannya."Bagaimana keadaannya? Al terus menanyakan dimana ayahnya," ujarnya lirih sambil membuang napas lelah. "Dan aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Dunia yang sekarang terlampau begitu kejam untuknya." Mata emerald Cecillia beralih ke jendela, dapat dia lihat gadis kecilnya berlarian dengan seorang bocah lelaki di kebun depan rumahnya.

Seorang pria menyesap kopi susu yang disediakan untuknya. "Baik. Namun tetap tidak dalam waktu dekat ini dia akan pulang, Cecil," –meletakkan cangkirnya di meja—, "Keadaannya semakin carut marut."

Cecillia hanya menjawab lewat tatapannya yang semakin sendu. Setelah kehilangan satu anak gadisnya empat tahun silam, hidupnya seakan-akan hanya dipenuhi dengan kesengsaraan, yang bisa membuatnya bertahan adalah satu anaknya yang masih hidup—Alathia Ealdian, sedangkan suaminya terpaksa tinggal di Sentral untuk mengurangi kecurigaan yang dituduhkan kepadanya.

Maxwell belum sempat bercerita apa-apa. Yang diceritakan kepada wanita berambut pirang itu hanyalah bahwa Raja telah memburu semua kembar yang lahir di seluruh negeri Shorea. Hanya itu, dan sesak hatinya semakin menjadi ketika Maxwell tak mengatakan apapun setelah kematian Cecillia berhasil dipalsukan satu tahun setelahnya. Pria itu juga tidak berkata banyak saat kembaran Alathia harus segera dipisahkan.

Masih Cecillia ingat, dia mengecam hal itu. Bukankah kematiannya yang dipalsukan itu sudah cukup? Yang wanita itu inginkan hanyalah hidup bahagia, dengan sepasang kembar anaknya, melihat mereka tumbuh ditemani minuman favorit suaminya di ujung senja.

Sayangnya, duka datang semenjak itu, katanya, putrinya yang lain tidak selamat menempuh perjalanan ke Acropora. Cecillia berberat hati, sedikit menyalahkan Maxwell, dan mengutuk Raja sejadi-jadinya.

Waktu terus berjalan, meninggalkan apa dan siapa yang dibelakang, berharap akan disembuhkan, akan tetapi yang terjadi dukanya semakin dalam.

Tiga tahun mereka pikir adalah waktu yang cukup untuk berbahagia. Memulai dari awal lagi dimana bayang-bayang keluarga kecil yang beranggotakan Cecillia, Maxwell dan Alathia hidup bahagia akan segera menjadi kenyataan. Akan tetap malam itu, malam yang dingin di ujung Desember, Cecillia sangat ingat, bagaimana malam mendung meliputi desa Jackia Ornate, kilat berkeclap, dan guntur bersahutan. Dan itulah momen terakhir dia melihat punggung suaminya, menjauh, diiringi hujan deras.

Sungguh, Cecillia tidak akan memaksa.

Bila Maxwell tidak ingin berbicara, maka memang begitulah nyatanya.

Tapi sakit hati yang dibawanya rasanya sulit disembuhkan.

Hanya lewat pria ini, pria yang sedang di depannya ini, yang menyesap kopi susunya, yang menyampaikan kabar Maxwell untuknya. Tidak cukup. Tak akan pernah cukup! Bagaimanapun, sekalipun dia mencecap banyak kekecewaan yang diperbuat suaminya, sungguh, untuk membenci pun rasanya dia tak akan bisa. Dia butuh bertemu dengan Maxwell. Menatap manik cokelat itu lagi.

Cecillia merindukannya.

Bagaimana mata hazel itu menatapnya sayang, suara tawanya yang ringan, dan tangan besarnya yang mengelus puncak kepalanya.

"Aku yakin apa yang dia jalani sekarang adalah yang terbaik, Cecilia. Percayalah."

Wanita berambut pirang itu memaksakan sebuah senyuman."Aku selalu percaya. Dia pasti punya alasan tersendiri untuk—" dia menggantungkan kalimatnya "meninggalakanku di sini bersama Alathia," ujarnya lirih, sedikit bergetar.

SÓSKEN    #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang