Kapitolus V; Underneath The Stars

8 2 0
                                    

Desa Jackia Ornate, Pinot Gris. 10 Mei 1753 M. 10:00 a.m.

Gadis itu menarik anak panahnya, menjangkarkan tangannya pada bagian dagu, dia mengambil napas, mencoba serileks mungkin dan mata hijaunya tajam melihat target di depannya.

'CKLAK!'

Busurnya menurun, tapi dia masih dalam posisi tegaknya. Rambut cokelatnya basah karena keringat, dia menghela nafas panjang. "Bagaimana menurutmu, Paman Seb?"

Lelaki yang diajak bicara hanya berdeham, berdiri di samping gadis itu dan memicingkan matanya kearah target. "Tidak buruk."

"Oke," desah gadis itu, sembari memutar kedua bola matanya."Bukan jawaban yang kuinginkan. Aku tahu maksud dari kata itu adalah—'ulang lagi, Ali.'"

Lelaki itu hanya tertawa."Ali, kali ini kau harus lebih rileks. Teknik ini teknik yang paling sulit, ambil lagi panahmu."

Gadis yang dipanggil Ali itu menatap pria itu datar, sedikit membuka mulutnya tak percaya.

Pria itu hanya mengedikkan bahu, lalu menunjuk anak panah yang tertancap di target dengan bahunya."Ayo, ambil itu."

Wajah gadis itu sangat culas, dia menekuk mukanya beberapa senti. Pasalnya, rasa-rasanya dia sudah melakukan teknik ini ratusan kali namun selalu tidak bisa memuaskan pria yang dipanggilnya Paman Seb tersebut. Nama asli pria itu sebenarnya adalah Sabina Slavom, namun gadis itu memiliki panggilan sayang yang unik terhadapnya. Begitupun dengan Sabina, panggilan Ali adalah panggilan sayangnya terhadap gadis yang bernama Alathia di depannya ini.

Tidak ada hubungan darah antara keduanya.

Hanya saja, Sabina telah cukup lama hidup bersama Alathia dan ibunya—Cecillia, mungkin sekitar kurang lebih delapan tahun lamanya. Sabina adalah seorang veteran, yang merangkap menjadi orang kepercayaan William yang diutus untuk melindungi keduanya dari ancaman yang menimpa mereka. Lelaki bermata cokelat itu menempati kamar tidur di luar rumah yang berdekatan dengan kandang kuda dan lumbung hasil panen, dan dia tidak berkeberatan karena itu.

Sabina mengajarkan banyak hal kepada Alathia.Berkuda, berpedang, dan panahan—Alathia paling menyukai panahan sebenarnya, tapi skill yang dia miliki tidak cukup memuaskan Sabina. Bagi Sabina Slavom, selain sebagai orang yang musti dilindunginya, pria itu semakin menganggap bahwa Alathia sebagai anaknya yang sudah meninggal. Terkadang di malam hari, saat dia hendak tidur hatinya sedikit merintih ketika mengingat perang yang dia lalui 15 tahun lalu merebut anak dan istrinya.

Kali ini, lagi-lagi, entah yang keberapa kali, Sabina berada di belakang gadis itu. Memberikan instruksi. "Sebelum kau angkat busurnya, tarik nafasmu dalam-dalam."

Alathia menurut.

"Lewat diafragma, Ali."

Gadis berumur tiga belas tahun itu mendesah tak suka. Pernapasan melalui diafragma menjadi salah satu kesulitannya.

"Yang tegak," pria itu menepuk kedua bahu gadis di depannya, memastikan bahwa kuda-kuda yang dia pasang cukup kuat.

Terkadang, dia merasa bahwa Sabina terlalu cerewet kepadanya. Namun walaupun begitu, Alathia tetap menurut juga. Dia mengangkat busur panahnya bersamaan dengan nafas yang dia ambil melalui diafragmanya.

Sabina terus mengoceh soal "Rileks, Ali. Rileks." Berulang-ulang. Alih-alih rileks, Alathia malah semakin panik.

"Paman Seb, tolong diam sebentar."

Lelaki itu hanya tertawa, tak kuasa melihat ekspresi sebal milik Alathia yang jenaka."Inti dari tembakan ini adalah dari bahu," –Sabina mengecek lengan dan jari yang digunakan Alathia— "dan pengoptimalan lengan dan jari untuk menarik anak panahmu."

SÓSKEN    #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang