Kapitolus I; Pursuit of Happiness

31 11 36
                                    

Kota Sentral, Shorea. 20 Mei 1740 M. 10.00 a.m.

Mata pria itu menatap mata emerald wanita di depannya dengan penuh sayang. Dia mengelus pelan punggung tangannya lalu mengecupnya, direnteti dengan di dahi setelahnya, lalu pipi, lalu sedikit kecupan manja di bibir.

Pria itu tak mampu membendung perasaan sangat memenuhi dadanya. Wanita yang berada di depannya sekarang adalah salah satu kebahagian yang pernah terjadi dalam hidupnya, wanita itu kini sedang terbaring dalam tempat tidur rumah sakit kelas satu, tersenyum sampai lesung pipit di bawah matanya terlihat dan senyuman manisnya disempurnakan dengan kemilau matahari yang masuk melalui jendela.

Maxwell Ealdian—sangat, amat, bersyukur telah memiliki Cecillia sebagai istrinya.

Dan keluarganya akan sempurna sebentar lagi.

Lelaki itu bisa membayangkan kaki-kaki mungil menjadi musik yang menyenangkan di pagi hari saat dia menikmati susu dan satu menara tinggi pancake sirup maple, atau rengekan manja di senja sembari menikmati teh rosella. Ah.

"Lihat, sebentar lagi kau akan menjadi seorang Daddy, Maple." Sedikit lesung pipit terlihat di bawah mata Cecilia, membawa Maxwell kembali ke alam sadarnya.

"Come on, Honey. Panggilan itu memalukan."

"Hm? Ini panggilan sayangku," tukasnya, pura-pura bersungut. Lalu setelahnya, wanita itu tersenyum, sesekali mengelus perutnya yang sudah hamil delapan bulan.

"Aku tidak mau anakku nanti memanggilku dengan Daddy Maple."

"Ah!" Wanita itu memasang wajah jenaka. "Ide bagus."

Lelaki itu tak kuasa mencubit hidung wanita di depannya yang hanya disambut sebuah tawa ringan Cecillia. Suasana romantis itu sedikit terusik ketika ajudan Maxwell memasuki ruangan.

"Sir!" lelaki berpakaian seragam hitam kuning memasang pose hormat.

Maxwell berdiri, membalas hormatannya, "Ada apa?"

"Yang Mulia Raja—" ajudannya sedikit menelan air liurnya. "—memanggil."

Kota Sentral, Shorea. 20 Mei 1740 M. 06.00 p.m.

Kata-kata itu terus berputar di kepala Maxwell. Keringatnya yang sebulir jagung bisa dia rasakan turun melalui pelipisnya, membasahi sebagian punggungnya, dan berkumpul di pangkal lehernya. Dia tidak bisa tenang, yang langsung membuat wanita di sebelahnya melihatnya dengan pandangan khawatir. Maxwell bisa merasakan punggung tangannya disentuh lembut oleh jemari lentik Cecillia, namun hal itu tidak mengurangi barang sedikitpun gelisah di hatinya.

Lelaki itu punya firasat yang tidak begitu baik soal ini.

"Semua akan baik-baik saja." Wanita itu tersenyum. Mencoba menelisik lebih jauh mata cokelat madu Maxwell yang tidak fokus.

Maxwell membuang nafas keras. "Ah maafkan aku, Honey." Dia mengerang, menyelipkan jemarinya ke rambut cokelatnya. "Kita harus segera ke Pinot Gris sekarang." Kali ini mata hazelnya enggan melihat mata emerald milik Cecillia.

Giliran Cecillia yang memasang raut wajah khawatir, wanita berambut pirang itu menautkan alisnya, mulutnya sudah terbuka seakan ingin mengucap sesuatu tapi dia urungkan. Lantas, dia hanya bisa berdeham, membuat sedikit rambut di samping telinganya berayun. Atmosfir yang berat ini bisa dia rasakan sejak langkah pertama suaminya menghampiri dirinya di ranjang rumah sakit dengan wajah tergopoh-gopoh.

Setelahnya, tidak ada kata yang keluar dari mulut Maxwell. Hanya keheningan yang memuakkan. Di saat seperti itu, Cecillia yakin tidak terlalu banyak bisa membantu. Wanita bermata emerald itu begitu tahu gelagat suami yang demikian. Ada sesuatu dalam pikirannya, sesuatu yang sangat berat yang tak bisa diungkapkan begitu saja, sampai akhirnya Cecillia hanya bisa memilih diam, menatapnya dengan tatapan sendu. Dia akan dengan sabar menanti Maxwell bercerita.

SÓSKEN    #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang