Ingin Kucumbu Buku Sejarahku

35 3 0
                                    


   Minggu adalah hari dimana semua manusia melaksanakan kegiatan sampingan yang menyenangkan. Hal-hal seperti mengembangkan hobi, bersantai ria, pergi ke tempat menyenangkan atau sekedar berkumpul bersama orang yang dicintai. Seperti sebuah keluarga yang normal, Keluarga pak Riyadi berkumpul bersama dengan kedua anak laki-laki dan istrinya di halaman rumah. Entah masih pantaskah disebut halaman atau tidak sebab tak ada tanaman yang tumbuh sedikitpun di sekitarnya. Semua hanya beralaskan putihnya semen yang halus dan berdebu.  Akan tetapi,  udara di halaman cukup teduh dan bersahabat. Teduh bukan karena sang awan sedang menghalangi sang sinar tapi karena halaman pak Riyadi ditutupi kanopi yang terbuat dari seng dengan lapisan spandek pasir untuk meredam galaknya panas matahari  di luar rumahnya.

   Semua anggota keluarganya berkumpul disana terkecuali sang istri yang sedang menyiapkan beberapa makanan untuk dihidangkan bersama-sama.

"Ayah, aku haus. Bisakah engkau menyiapkan segelas air putih. Aku tidak tahu caranya merubah air yang keruh ini menjadi air bersih untuk diminum". Ujar Anak bungsunya, Suyadi dengan wajah polos.

  "Sepertinya kamu harus banyak belajar wahai anakku. Ini sangat mudah nak. kau cukup menuangkan air keruh yang ada di teko itu. Lalu tuangkan bubuk kemasan air bersih ke dalam gelas yang berisi air".

   Maka Suyadi menuangkan air keruh dari teko. Tangan kecilnya meraih bubuk kemasan Sachet air mineral yang bertuliskan 'Air Mineral Bubuk pastikan aduk secara merata supaya sensasi jernihnya terasa'. Lalu dituangkan kedalam gelasnya.

  "Pakai ini untuk mengaduknya". Sang ayah menyodorkan sendok aluminium kepada anaknya yang berumur 7 tahun itu.
 
  Setelah satu menit diaduk jadilah segelas air mineral yang dapat diminum.

  "Ayah.. apakah bumi dulunya memang sudah seperti ini ? ".  Kali ini anak Sulungnya, Mardi .buka suara. 

  "Tentu berbeda nak. Bumi dulu dan sekarang adalah dualitas yang sangat berbeda". Jawab sang Ayah dengan yakin.

   Mardi menundukan kepalanya sambil memelas. Raut wajahnya terlihat khawatir sebagai pendekskirpsian dari banyak pertanyaan yang belum terjawab. Ia memang selalu memikirkan hal-hal yang menurut orang tuanya tidak penting. Itulah yang membuatnya  enggan bertanya. Bahkan ketika ingin mengajukan pertanyaan Ia harus memikirkannya dengan pasti agar Ia tidak mendapatkan ungkapan seperti 'pertanyaan itu tidak penting nak kau tidak seharusnya menanyakan itu, lebih baik pikirkan saja nilai sekolah mu'.

   Suasana di halaman legang tanpa percakapan setelah Mardi mengungkapkan pertanyaan itu. Menyebabkan suasana sunyi yang melebar.

  "Makanan sudah siap. Silahkan basuh tangan kalian dengan tisu basah terlebih dahulu".

  Ibu datang memecahkan suasana sunyi itu sambil membawa nampan berisi lauk-pauk yang cukup banyak, lengkap dengan peralatan-peralatan makan seperti sendok plastik yang di bungkus plastik, sedotan plastik yang di bungkus plastik, dan gelas-gelas plastik. Semua itu digunakan Ibu dengan alasan supaya tidak perlu repot menyucinya ketika telah selesai acara makan bersama.
  
   Untuk makanan yang dihidangkan, Ibu mengambil tema makanan oven yang lezat.  Kentang oven bertutupkan lapisan alumuniumfoil, Pizza dengan alas alumunium foil, dan Lasagna makanan khas Itali dengan mangkuk aluminium foil. Sama seperti peralatan makan, semua serba aluminium foil supaya tidak usah repot mencuci tetapi di tambah alasan supaya matangnya merata.

  Ibu, Ayah, Mardi dan Suyadi bersiap untuk menyantap makanan yang sudah di hidangkan dengan penuh suka-cita. Bungkus-bungkus plastik dan alumunium foil sudah mulai di robek-robek dan di buka. Uap-uap panas makanan yang tadinya tertutup alumunium foil kini telah bebas terbang berkeliaran.
 
   Semua anggota keluarga pak Suyadi mencicipi semua makanan yang di buat oleh Ibu.  Semua mulut bergerak berirama satu sama lain mengunyah untuk menghaluskan makanan.
 
   Setelah lima belas menit, semua makanan habis tanpa sisa, hanya menyisakan sampah-sampah plastik dan kertas alumunium foil. Segera Ibu memungut semua sisa-sisa sampah itu, disusul Mardi membantu sang Ibu  membereskan semua sampah itu. Dipungut satu persatu dan dimasukan kedalam kantung sampah berbahan plastik hingga terlihat rapih. Sekarang semua sampah itu terlihat sangat rapih sehingga menjadi satu bungkusan besar plastik yang berisikan plastik-plastik dan kertas aluminium. Itulah manusia, pandai menipu indera pengelihatan. Apapun resikonya mereka tidak peduli terhadap alam. di dalam kepalanya hanyalah aspek  kepuasan nafsu semata.

   "Hey, Mardi..anaku" Ujar Ayah.

    Mardi hanya menatap Ayahnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

   "Ayah tau Kamu punya banyak pertanyaan. Pada kesempatan ini silahkah bertanya sepuasmu,Nak sebagai bahan percakapan dan penambah keakraban dalam berkeluarga" Lanjut Ayah.
  
   "Terima kasih, Ayah. Ada banyak pertanyaan di kepalaku . Berkenankah Ayah menjawabnya ?" Jawab Mardi.

    "Selagi pertanyaan itu bukan tentang kematian dan kekayaan, Ayah pasti akan menjawabnya".
 

    "Di dalam buku sejarahku terdapat hewan yang bernama kucing. Bagaimanakah bentuk kucing itu wahai ayah ?" Tanya Mardi.

     "Hewan itu berbulu dan lucu, nak. tapi manusia membunuh dan menyiksanya sebab mereka suka mencuri makanan milik manusia. Oleh karena itulah, sekarang mereka tidak ada lagi disekitar kita". Jawab Ayah.

     "Lalu, Bagaimana dengan tumbuhan ? masih adakah tumbuhan itu ? . Di buku sejarahku tertulis bahwa dia berwarna hijau dan bermanfaat" Tanya Mardi.

     "Masih ada, Nak. Hanya saja sekarang mereka terbatas dan tidak boleh sembarangan di tanam karena jika sudah besar nanti tumbuhan itu akan memperlambat pembangunan di negeri ini. Pemerintah akan kerepotan menebangnya. Jika ingin melihat langsung tumbuhan yang besar pergilah ke daerah utara negeri ini, di sana kamu bisa melihat banyak tananam bernama sawit" Jawab Ayah.

  "Kenapa hanya sawit ?, bukankah di negeri kita ada banyak sekali jenis tumbuhan ?" Tanya Mardi.

   "Betul, nak. Sebenarnya sebelum di tanami tumbuhan sawit lahan itu dulunya adalah hutan yang memiliki banyak spesies tumbuhan akan tetapi dikarenakan mereka semua tidak menyumbang banyak pendapatan negara maka pemerintah menebangnya dan menggantinya dengan sawit yang dapat meningkatkan keuangan negara kita" Jawab Ayah.

   "Oh iya, Kenapa di kota kita ini jarang sekali terlihat tanah yang berwarna coklat, Ayah ?".

  Sepertinya Mardi benar-benar akan memgungkapkan semua pertanyaan yang ada di dalam kepalanya.

   "Karena tanah itu tidak terlalu penting anakku. Kalau dia tidak di tutupi dengan aspal, mobil mewah kita tidak bisa melaju dengan kencang, coba kamu bayangkan bila tanah itu tidak ditutupi dengan aspal, pastilah ketika hujan mobil kita akan selalu kotor dan sungguh merepotkan bila harus mencucinya terus-menerus" Jawab Ayah.

  "Sungguh Aku ingin  menikmati bumi seperti yang di dalam buku-buku sejarahku. Semburat jingga pada senja hari  yang sempurna, melihat desiran ombak yang saling kejar-mengejar tanpa dihalangi resort-resort, berteduh dan besandar dibawah rindangnya pohon-pohon besar dan bukan tiang-tiang penyangga jalan layang itu, Aku ingin merasakan jernihnya air tanpa ada campur tangan kimia di dalamnya apalagi di bungkus dengan kemasan plastik, Aku ingin menghirup sejuknya udara dan bukan asap kendaraan-kendaran yang mewah itu" Ujar Mardi.

Dijawabnya oleh sang Ayah melalui bisikan

  "Kalau negara mengabulkan doamu itu maka negara kita tak pernah maju dan berkembang, langkah pemerintah sudalah tepat nak. Menebang pohon, menyudutkan hewan, dan mencemari laut adalah cara yang paling revolusioner"

  

   
   

Dunia Ketawa-KetiwiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang