9. Allah Itu Ada

3K 183 10
                                    

Haris masih sibuk menenggelamkan dirinya dalam balutan doa saat sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya.

Ia melihat jam dinding pukul tiga dini hari, ia segera bangkit dari duduknya lalu mengambil posisi berdiri untuk melaksanakan witir, penutup dari sholat tahajjud dan hajatnya.

Dalam tengah malam itu, oleh para Malaikat dan sang dewi rembulan menjadi saksi bisunya bahwa dia telah bersujud kepada Allah, Tuhan yang menciptakan langit, bumi, dan seisinya ini.

Setelah mengakhiri witir dengan sujudnya yang dipanjangkan, lalu Haris salam ke kanan dan ke kiri.

Dalam keheningan yang tercipta, Haris mendengar sayup-sayup seseorang yang sedang membaca Al-Qur'an dengan fasih. Hatinya bergetar, siapa yang sepagi ini membaca Al-Quran?

Bukan hanya kefasihannya, tetapi sepertinya Haris telah tersihir oleh suara yang dimiliki perempuan itu. Ia yakin jika perempuan itu juga memiliki wajah yang cantik, seperti cantiknya bacaan Al-Qurannya.

Ia kemudian beristighfar, berusaha menepis apa yang ada dalam pikirannya. Itu adalah zina pikiran. Ia kemudian menyibukkan diri dalam balutan doa-doa dan berdzikir kepada Allah agar diberi perlindungan agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang mendekatkannya kepada zina.

Suara itu perlahan-lahan mulai menghilang. Haris menatap layar ponselnya yang dari tadi menyala. Di sana terpampang jelas tulisan "Ummi" yang menelepon Haris hingga enam kali. Dengan rasa penyesalan yang mendalam karena tidak bisa menjawab panggilan dari umminya, dia menelepon balik. Terdengar suara yang halus dan lembut sedang menyapanya dari seberang sana.

"Assalamu'alaikum anak Ummi."

"Wa'alaikumussalam Ummi, Ada apa Ummi telepon pagi-pagi sekali?"

"Lho, gimana tho. Masak Ummi tidak boleh tanya kabar anaknya?" tanya suara dari sana yang sudah dipastikan sedang cemberut.

"Iya Ummi. Haris tahu. Haris baik-baik saja, Alhamdulillah."

"Ummi ingin bicara serius denganmu." Tiba-tiba nada suaranya berubah serius. "Kapan kamu akan menikah? Nanti keburu jadi jaka tua," lanjutnya.

"Haris tidak tahu Ummi. Haris merasa masih terlalu dini dan belum bisa membimbing istri dan anak-anak kelak." Ia menatap Sungai Ottawa dari jendela. Begitulah umminya. Belum apa-apa saja sudah epyek seperti itu. Mungkin jika nanti ia sudah lamaran, kemungkinan besar umminya akan menggelar ngaji syukuran.

"Tapi menikah itu separuh agama lho. Lagi pula kamu 'kan sudah ditawarin kerja mbantu pakdhemu, le. Nanti diberi jabatan yang tinggi di perusahaan pakdemu itu. Tinggal kamu bilang saja sama dia."

"Menikah itu bukan hanya siap materi, Ummi. Harus siap mental juga. Ummi tahu, kan itu tidak hanya soal cinta-cintaan saja. Haris harus bisa menjaga isteri dan anak-anak Haris kelak. Menikah itu ibadah yang bersifat continue, untuk masa depan juga. Selain itu, tidak mudah menyatukan dua pendapat yang berbeda. Maka, dibutuhkan kedewasaan, yang bisa memikirkan hingga ke depan. Ummi, Haris belum siap. Bagaimana jika Haris sekarang menikah, sedangkan pola pikir Haris masih seperti anak kecil? Tahu-tahu nanti cerai. Lagi pula, Ummi tahu 'kan prinsip Haris? Menikah hanya sekali seumur hidup."

"Tapi, Ris...Teman-temanmu di desa sudah pada menikah."

Haris hanya tersenyum simpul kepada ibunya, walaupun ia yakin ibunya takkan melihatnya tersenyum, lalu dengan sopan menutup teleponnya. Ia malas jika harus membahas tentang nikah-nikah yang tidak pernah terpikirkan di benaknya. Apalagi dia belum di wisuda dan belum bekerja. Aneh-aneh saja umminya.

Kumandang azan terdengar, getaran alunannya sampai ke telinganya. Haris lalu pergi ke masjid untuk jama'ah sholat Subuh.

Sedangkan di lain sisi.

Linza tampak sedang duduk di atas ranjang sambil masih mengumpulkan nyawanya. Sebuah alarm membuatnya terjaga.

Ia terbangun saat mendengar suara sayup-sayup seorang perempuan membaca Al-Quran. Suaranya sangat indah dan merdu. Kalimatnya bersajak, nadanya mendayu-dayu. Hatinya bergetar hebat. Muncul rasa nyaman di hati Linza.

Linza hanyut dalam suara itu. Ia mendengarkan dengan seksama. Siapakah yang membaca dengan suara merdu itu? Siapa pencipta kitab suci yang indah bersajak itu? Benarkah itu Tuhan yang digadang-gadangkan mereka?

Sejak saat itu Linza benar-benar dibuat tak mengerti dengan Azizah, yang harus mencitai Allah padahal Allah tak berupa. Bagaimana ia bisa melakulannya? Ataukah jangan-jangan mereka telah dibodohi, sebenarnya Tuhan mereka tak ada. Linza mengucek matanya dan bangkit dari ranjangnya, lalu mempersiapkan diri untuk kuliah.

***

"Benarkah Tuhanmu ada?" Linza menautkan kedua alisnya, setelah itu menggelembungkan pipinya.

"Kenapa kamu ragu jika Allah itu ada?" Azizah menutup bukunya dan memasukkannya ke dalam tas berukuran kecil, mungkin muat untuk dua buku.

"Mengapa Allah tak berwujud? Berarti Allah bukan materi?" Linza memainkan kakinya dan menyangga dagunya tepat di depan bangku Azizah. Azizah tersenyum dibuatnya.

"Apakah kamu hanya percaya pada materi? Kamu tidak percaya pada makhluk halus?" Linza menggeleng.

"Allah itu bukan materi, Linza. Jika kamu beranggapan bahwa Allah itu tak ada, lalu siapa yang membuat dunia ini? Memangnya bisa, dunia ini tercipta tanpa adanya Sangpencipta?" Kembali, Linza menggeleng.

"Kamu tak membuka wawasanmu, coba lihatlah bahwa di atas bumi ini Allah menciptakan tidak hanya materi, tetapi juga makhluk tak kasat mata. Kamu masih memercayai jika Allah itu tidak ada dan hanya akan memercayai materi saja?" Linza remang mengangguk.

"Kamu tahu, 'kan hakekat materi itu apa? Sesuatu yang memiliki massa dan volume. Misalnya buku, pensil, kursi, dan segala sesuatu yang memiliki keduanya. Kamu percaya ide?" Linza mengangguk. "Bukankah ide itu juga bukan materi? Ide tidak memiliki massa, volume, tidak dapat dilihat, diraba dan lainnya. Tapi ide itu ada, diakui manusia, dan ada dalam diri manusia." Linza menatap wajah sahabatnya yang sedang menyeramahinya.

"Bahkan ada yang bilang agama itu candu, tidak semua kok agama itu candu yang meninabobokkan apa itulah. Islam memiliki ajaran bahwa harus seimbang antara dunia dan akhirat. Bukan hanya akhirat. Jangan-jangan kamu juga tidak percaya dunia setelah ini?" Azizah menyelidik Linza. Linza entah yang kesekiankalinya ini mengangguk.

"Daddy bilang, hidup cuma satu kali. Makanya harus benar-benar menikmati masa sekarang." Azizah hanya mampu menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. Ia maklum, perbedaan agama juga mempengaruhi kepercayaan dan tradisi. Tapi prinsip Azizah, agama bukanlah sekat untuk dua orang berbeda keyakinan untuk berteman.

"By the way, ceramahmu kali ini menarik. Dapet materi dari Haris?" Linza sumringah.

"Tidak. Aku baru saja membaca novel karya Habiburrahman El-Shirazy yang bahas tentang atheisme gitu." Azizah meringis. Sedangkan Linza jengah. "Dasar pengekor!"

"Tidak apa-apa, biar ilmuku bermanfaat." Azizah cengegesan lagi. Linza ber-hu ria. Menempelkan tangan ke mulut dengan bentuk teropong.

"Oh iya Zah. Bisa kamu jelaskan tentang kitab sucimu itu?" Linza ingat pagi tadi ia mendengar Al-Quran. Azizah tersenyum, sepertinya Linza mulai tertarik dengan islam.

"Apa yang harus aku jelaskan?"

"Itukah Allah yang membuatnya?"

"Tentu saja Allah. Tidak ada yang bisa menandingi keindahan Al-Qur'an yang bersajak itu. Bahkan, dulu syair-syair terkenal dan terhebat dari Arab pun tidak bisa menandingi keindahan bahasa Al-Quran. Itulah mengapa Al-Quran menjadi salah satu mukjizat terbesar Nabiku, Muhammad saw." Linza mengangguk. Semacam ada gravitasi yang menariknya untuk memelajari tentang agama islam.

"Ustadzah Azizah memang benar-benar the best," puji Linza sambil mengacungkan jempolnya. Sedangkan Azizah hanya tersenyum simpul.

"Aamiin. Doakan aku menjadi ustadzah. Agar aku bisa membagi-bagikan ilmuku menjadi bermanfaat." Linza mengangguk sembari mengacungkan jempol.

Hijrah Cinta [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang