5. Fitrah ini

1.4K 64 0
                                    

Zahra menunduk, menangis sesenggukan di kursi rumah sakit, tak berani menatap wajah Haris di depannya. Berulang kali kalimat istighfar dan maaf keluar dari mulut mungilnya.

"Maaf." Kesekian kata maaf yang meluncur dari bibirnya dengan masih menunduk. "Maaf aku tidak tahu jika Kak Linza hamil," katanya lirih.

Haris mendekatinya, duduk di sebelahnya. "Ini bukan salahmu, lagi pula semua akan baik-baik saja. Tidak usah khawatir." Ia menepuk pundak adiknya itu.

Beberapa menit mereka menunggu, akhirnya dokter yang menangani Linza keluar juga.

"Bagaimana, Dok?" tanya Zahra cemas. Dokter mengatakan, bahwa dia dan janinnya akan baik-baik saja. Semua orang yang berada di sana bernapas lega. Air mata bahagia terjatuh dari pelupuk mata Zahra.

"Boleh, saya menjenguk, Dok?" Dokter itu mengangguk, "tapi ingat. Batasan orang yang berada di dalam hanya dua orang. Supaya pasien tidak terganggu." Zahra mengangguk, lalu bergegas ke sana, disusul Haris.

Hati Haris kembali teriris. Mengingat kembali beberapa waktu lalu, saat melihat seorang gadis juga yang terkapar lemah ditemani selang infus lalu berakhir menyakitkan.

Benaknya menembus kabut angan. Hatinya gundah. Jantungnya gelisah. Ingin menumpahkan air mata tetapi tidak bisa. Siapa yang akan rela, saat melihat pelengkap tulang rusuknya hanya bisa berbaring lemah tak berdaya, dan bergantung pada infus?

Ia menghela napasnya, percuma saja jika ia berpikir seperti itu. Yang dibutuhkan Linza bukan itu, tetapi balutan do'a, rayuannya kepada Sang Khalik agar memberikan istrinya itu sembuh sedikit lebih cepat.

"Ra." Zahra menengok Haris sambil masih memegang tangan Linza. "Kamu tunggu di sini." Zahra mengangguk, lalu melaksanakan perintah Haris.

Sedangkan Haris, dengan hati yang masih kacaunya, berjalan gontai menuju masjid rumah sakit.

Ia membelokkan arahnya saat sudah berada di depan masjid menuju tempat wudu. Hanya kepada-Nya lah, dia bergantung.

Setelah melakukan shalat tahiyyatul masjid, dia segera mengumandakan takbir dan mengangkat tangannya. Berdiri dengan kokoh di atas sajadah dengan masih berkecamuk hatinya.

Setelah menunaikan salat, ia segera duduk, bersimpuh di hadapan Sangkhalik, Pencipta alam semesta ini, sambil mengadahkan tangan.

"Ya Allah Yang Mahapengasih. Dzat yang Maha menghidupkan dan mematikan, Dzat yang menciptakan langit dan bumi, di sini, salah satu hamba-Mu yang kerdil ini memohon keagungan-Mu, mengiba dengan penuh harap, bersimpuh diri di hadapan-Mu, yang dengan lancangnya meminta sesuatu kepada-Mu. Hanya kepada-Mu lah, aku memohon, dan hanya kepada-Mu lah, aku bergantung.

"Ya Allah Yang Maha Penyayang. Kesembuhan hanya berada di tangan-Mu. Nyawa, jodoh, pekerjaan, semua adalah ketetapan-Mu. Maka, pilihkanlah yang terbaik untuknya. Jika memang dia Engkau kehendaki untuk sakit, maka janganlah Engkau memberinya penawar. Jika memang Engkau menghendaki untuk sembuh, kucurkanlah salah satu keagungan-Mu untuknya.

Allahumma Robbannasi adzhibil ba'sa. Isy'fii antaa syaafii laa syifaa a illa syifaa uka syifaa aa laa yughaadiru saqama."

Ia segera bangkit, berjalan menuju ruang rawat Linza.

Sepanjang perjalanan melewati koridor rumah sakit, ia disibukkan oleh hatinya yang penuh dengan kecamuk.

Benaknya was-was. Membayangkan hal yang tidak-tidak. Batinnya diliputi rasa cemas. Seakan-akan sesuatu yang dipikirkannya menjadi kenyataan.

"Assalamu'alaikum," ucapnya halus sembari membuka knop pintu. Zahra menjawab, lalu menyambung bacaan ayat kursi.

Haris mengambil kursi terdekat ranjang Linza, mendudukinya, di samping Zahra yang masih mengokohkan bacaannya.

Ia menggenggam erat tangan Linza. Memberikan kehangatannya kepada Linza. Rasa cemasnya belum bisa terobati walaupun dokter tadi sudah mengatakan baik-baik saja.

Siapa yang sanggup, melihat orang yang dicintainya terkapar tak berdaya di rumah sakit?

Setelah sejam, Linza siuman. Kelopak matanya perlahan membuka. Bulu mata lentiknya mengerjap, menatap buram langit-langit ruangan serba putih itu.

"Kak!" seru Zahra sambil tersenyum bahagia. Haris yang sedang di kamar mandi jengkel. "Ada apa? Bisakah jangan teriak-teriak? Kakak iparmu belum bangun," jawabnya saat sudah mulai melangkahkan kaki kanannya keluar dari kamar mandi.

"Kak Linza siuman."

Senyum bahagianya terpancar jelas, menatap bola mata istrinya. Jelas-jelas dia rindu dengan bola mata cantik milik Linza itu. Matanya itu candu, untuk selalu merindu.

"Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Tuhan Semesta Alam ini," ucap Haris penuh syukur. Linza menatap suaminya itu sambil membentuk senyum segaris.

"Zahra panggilkan dokter!" Zahra mengangguk, lalu cekatan mendekati pesawat telepon yang memang sudah disiapkan di tempat itu, lalu menekan beberapa tombol. Tak berapa lama, beberapa orang yang memakai pakaian serba putih mendatangi mereka. Mereka lalu undur diri, keluar.

Haris tersenyum bahagia, pun dengan Zahra. Mereka berdua tak henti-hentinya bertasbih, mengucap ke-Agungan Allah, Ke-Esaan Allah. Merasakan salah satu nikmat Allah yang tiada tara.

"Seperti yang saya katakan, mungkin pasien akan baik-baik saja dengan bayinya. Pasien boleh pulang hari ini."

Sorot mata mereka yang berada di situ berbinar seketika. Dari yang beberapa jam lalu, menunggu sesuatu yang tidak mereka tahu kepastiannya kini terjawab sudah.

Bibir Haris bergetar, mengucap nama-nama Allah yang indah.

"Yaa Rahmaanu Yaa Rahiim."

Hati Zahra terenyuh, menatap kilauan mata Haris yang indah. Menatap bibirnya yang bergetar mengagungkan nama Allah swt. Bukankah Haris adalah lelaki yang sempurna? Lelaki yang menjaga dengan baik pandangannya, lelaki yang menjaga hati tanpa tergetar sedikitpun oleh eloknya wanita, lelaki yang menjaga hati istri sepenuh jiwanya, beruntungnya dia jikalau dialah yang menjadi istrinya.

Ia menunduk, pada kenyataannya, lelaki yang dikaguminya sejak dulu adalah kakaknya sendiri.

Ia sempat berpikir bahwa hidup ini tak adil. Mengapa ia harus ada rasa dengan saudara, darah dagingnya sendiri? Bagaimana ia bisa melupakannya, sedangkan ia saja selalu dilontarkan senyum hangat nan memikat dari kakaknya itu?

Liputan pertanyaan terlintas di benakknya. Apakah salah, mengagumi kakak sendiri? Ia mendesah, menghela napas, ia sesegera mungkin menepis pikirannya dengan berselawat kepada Baginda Nabi.

Cintanya ini terlarang. Cintanya ini tak pantas. Lancangnya dia, menyukai darah dagingnya sendiri.

Ia membenamkan diri dalam balutan do'a. Beristigfar, membuang jauh-jauh perasaan yang terpatri indah sejak kecil ditanamnya. Apalagi, orang yang dicintainya sudah memiliki dambatan hati..

Ini salahku, yang membiarkan cintaku tumbuh pada orang yang salah. Jikalau aku sakit hati, itu akan menjadi balasanku.

Aku tidak akan menyalahkan dia yang membuatku sakit hati. Aku akan menyalahkan diriku sendiri, yang tak pandai menjaga pandangan dan hati.

Salahku, menambatkan hati pada orang yang salah. Seseorang yang jelas-jelas tidak mampu kugapai.

Ya Allah, maafkanlah hamba-Mu ini yang belum bisa menjaga fitrah yang Kauberikan..

Assalamu'alaikum wr.wb!
Dirgahayu RI ke-73
Semoga, Indonesia menjadi salah satu negara yang nantinya akan menjadi lebih maju. Makmur SDM-nya. Berkurangnya korupsi, dan pertikaian-pertikaian politik terminimalisir.
Ada yang rindu saya, tidak? Afwan, telat update // sepertinya tidak ada yang merindukan saya.
Minggu-minggu ini saya banyak ulangan. Afwan sekali lagi.

Siapa kita??
Indonesia! 🇮🇩

Don't forget to leave some votes and comments. Don't be a silent reader!

Wassalamu'alaikum.

Salatiga, 17 Agustus 2018
Salam hangat,
Alifah Fitry.

Hijrah Cinta [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang