satu

311 4 0
                                    

Bel di rumah kecilku berbunyi tepat pukul dua belas malam, dan aku sudah tahu siapa pelakunya. Dengan senyum paling indah, aku sambut kedatangannya serta kepulangannya. Karena sudah dua tahun dia meninggalkanku sendirian di rumah yang menjadi rumah impian kami.

Perlahan, ku buka pintu kayu dengan ukiran sederhana khas sebuah pintu yang berwarna coklat tua ini. Disana nampak wajah yang sangat aku rindukan, wajah yang sudah sangat lama tidak aku lihat. Wajah yang sekarang ini menjadi lebih kecil dari yang terakhir aku lihat, serta badan yang lebih kurus di bandingkan dulu.

Dia tersenyum padaku, masih sama, dengan senyum yang dulu selalu aku lihat. Senyum sederhana namun menenangkan hati siapapun termasuk diriku.

"Aku pulang." Sapanya.

Kurentangkan kedua tanganku saat ia merentangkan kedua tangannya dengan senyum mengembang. Air mata tak bisa aku cegah keluar, ia mendesak keluar semenjak tadi dan aku tidak bisa menahan terlalu lama. Diapun sama, bisa aku rasakan bajuku yang basah akan air matanya.

Kami menangis dalam kebahagian.

"Kamu makin kurus aja."

"Aku makan dengan baik. Olahraga dengan baik juga."

"Iya aku tahu, lihat tangan kamu yang makin gede ini."

"Tangan ini akan memelukmu selamanya. Jadi harus kuat."

Aku melepaskan pelukanku walaupun air mata masih mengalir dengan sangat derasnya. Tangannya perlahan naik dan jemarinya kini mengusap air mata yang membasahi pipiku.

"Kenapa kamu nangis?"

"Karena aku bahagia."

"Kalau kamu bahagia jangan menangis."

"Tertawapun bisa menitihkan air mata, jadi ada bahagia yang di tuangkan dengan air mata."

"Aku akan kalah jika berdebat denganmu."

Aku hanya tersenyum dan kami masuk kedalam karena malam semakin larut serta angin berhembus semakin kencang.

Dia langsung menuju kamar dan mengganti pakaian yang lebih nyaman, sedangkan aku menyiapkan teh lemon hangat kesukaannya. Ia keluar dengan kaos oblong dan juga celana pendek yang sangat nyaman untuk dilihat.

"Diminum."

Ia menganggukkan kepalanya dan menyeruput teh lemon hangat yang aku buatkan.

"Ahhh.. Lama banget aku gak minum teh ini."

"Masih sama?"

"Akan selalu sama sampai kapanpun."

"Karena bikinnya di tambah gula cinta."

Dia hanya tersenyum hingga matanya hilang dan itu membuatku ikut tersenyum.

Kami hanya duduk di ruang tengah sambil berbincang mengenai hari-hari kami selama ini. Dia mendengarkan semua ceritaku mengenai kekesalanku pada banyak hal dan dia menceritakan bagaimana ia berusaha rajin dan patuh.

Satu hal yang pasti dan yang aku tahu mengenai laki-laki ini, dia bukanlah anak yang rajin dan patuh.

Dia termasuk dalam kategori pemalas dan juga pembangkang handal yang aku tahu. Namun malam ini aku mendengar usahanya yang hebat dan membuatku terharu. Dia melakukan semuanya hanya demi aku.

"Tidur yuk, udah malem banget."

"Ini udah jam empat subuh. Jatuhnya udah pagi bukan malem lagi."

Dia terkekeh dengan jawabanku.

"Segitu cepetnya waktu berputar ya?" Tanya dengan mata sendu.

"Masih ada waktu untuk kita bersama."

"Aku mau kita bersama selamanya."

Aku hanya tersenyum dan memeluk tubuhnya yang kini lebih keras dan juga hangat. Aku sembunyikan wajahku di dada bidangnya dan tangannya merengkuhku. Tanpa henti ia mencium kepalaku dan bisa kurasakan air mata kembali menetes.

Pada akhirnya kami tertidur di sofa ruang tengah sambil berpelukan.

Mataku membuka saat waktu menunjukkan pukul delapan pagi dan sebuah wajah yang aku rindukan tepat didepanku. Matanya terpejam, aku menyentuh garis rahangnya yang semakin tajam. Air mata kembali menetes mengingat masa-masa indah kami, tangisanku semakin pilu. Sekuat tenaga aku menahannya, aku tidak ingin ia terusik dengan suara tangisku dan membangunkan tidurnya yang nyenyak.

Perlahan aku mengeluarkan diri dari pelukannya dan bergegas menuju kamar mandi. Tempat yang paling aman untukku menangis dan mencurahkan semua isi hatiku.

Setelah puas dengan kesedihanku, aku keluar kamar mandi dan segera menuju dapur untuk memasak sarapan atau mungkin akan rangkap dengan makan siang.

Aku melihat dia masih tertidur disana dan senyum mengembang di bibirku. Sudah sangat lama aku tidak melihatnya bebaring disana. Tempat favoritnya saat berkunjung ke rumah ini, tidak banyak yang dia lakukan disana. Ia hanya akan menonton televisi atau membaca buku sambil di temani teh lemon kesukaanya.

Melihatnya kembali sedikit mengobati lara di hatiku dan setidaknya kami bertemu walau sekejab.


PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang