5. Selma Lari?

89 20 13
                                    

"Alia," pekik sosok itu. Alia hanya diam mengamati raut muka gadis di depannya itu, ada sedikit perbedaan dalam wajahnya. Ia tidak melihat raut ceria dan mata berbinarnya, sinar itu redup seperti matahari yang sinarnya terhalang awan hitam. Apa ini sosok yang sama?

"Kalian saling mengenal?" tanya Bibi Hamidah, dengan Bahasa Urdu tentunya.

"Iya, Bibi. Dia menolongku dari turis yang sengaja memotretku, untung saja turis itu mau menghapusnya. Alia pandai berdiplomasi," ujar gadis itu sembari menampilkan senyum manisnya. Alia tahu ada sesuatu yang Selma sembunyikan dibalik senyum menawannya.

"Dan ayah ibumu? Mereka tidak ikut?" tanya Bibi Hamidah.

"Mereka akan datang sebentar lagi," jelas Selma.

"Kalau begitu Bibi akan menumbuk henna untukmu dulu, kau tunggu di sini bersama Alia."

"Theek hai, Phuppo ji.[¹]"

Bibi Hamidah pergi menuju dapur, dua gadis itu berdiri mematung. Selma tidak mengerti apa yang ada dipikiran Alia, matanya terus saja menatap mata Selma seolah ingin membaca isi hati Selma. Suasana menjadi begitu canggung, bahkan angin yang menerbangkan butiran salju merasa canggung melewati rumah Bibi Hamidah itu.

"Ada apa denganmu, Selma?" tanya Alia, pertanyaan itu membuat Selma kikuk untuk menjawabnya.

"Nothing, I'm okay."

"Kau seperti sedang menyembunyikan sesuatu, apa itu?"

"Hanya perasaanmu saja, Alia."

"Lalu kenapa aku melihat luka di matamu, Selma? Jadi siapa yang berkata jujur? Aku harus percaya pada lisanmu ataukah matamu?"

Selma menarik napas dalam-dalam. "Hentikan Alia, kau seolah ingin membuat lukaku lebih dalam lagi."

Alia menunduk, ia merasa bersalah, dengan tidak sengaja ia menyakiti hati Selma, sosok yang ia anggap sebagai Sahabat. Terkadang jika tidak dikendalikan lidah memang lebih tajam dari pedang, sayatannya tidak mengucurkan darah, tetapi luka itu lebih membekas dan lebih membutuhkan banyak waktu untuk mengering.

Selma memegangi bahu Alia, ia juga tidak bermaksud membuat gadis tropis itu merasa bersalah.

"Maafkan aku ... aku tidak bermaksud membuatmu merasa bersalah, Alia."

"Aku akan menceritakannya, tapi tidak di sini."

Selma menarik tangan Alia, ia berjalan dengan cepat, seperti takut jika seseorang melihatnya atau lebih tepatnya mengikutinya dan mendengarkan pembicaraan mereka. Selma mengajak Alia menuju hutan cemara yang berada di belakang rumah Bibi Hamidah. Selma berhenti saat ia sampai di sebuah batu besar yang di kelilingi pohon cemara yang menjulang tinggi. Ia mempersilahkan Alia duduk di sampingnya.

"Aku menganggapmu sahabatku, kau memang orang asing bagi mereka yang tidak mengenalmu ... tapi aku merasa kau dekat denganku, Alia. Kau lebih tua dua tahun dariku, tidak berlebihan aku terkadang menganggapmu sebagai kakak perempuanku."

"Aku memang hanya memanggilmu dengan namamu saja, tetapi itu tidak mengurangi rasa hormatku. Kau tau, kau terlihat seperti seumuranku."

"Maksudmu aku masih belum bisa dewasa? Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu, Selma."

"Ah tidak-tidak, maksudku kau ini awet muda. Kita sudahi membahas dirimu, langsung pada intinya saja."

Selma menghirup aroma cemara dalam-dalam, hingga aroma itu serasa memenuhi paru-parunya.

"Kau tahu, aku suka aroma cemara ini ... waktu kecil, aku dan Haider suka bermain lempar bola salju di sini. Aku akan bersikeras aku yang menang jika bola salju itu mengenaiku, aku memang keras kepala," ujar Selma.

Something In KashmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang