"Apa salahnya pak?"
"Salahnya, Ibu selalu mengiyakan apa kemauan Riris"
"Mbok sekali-kali ngomong mboten gitu lho buk"suara itu jelas terdengar di telingaku saat Maria dan aku tiba di halaman rumahku. Jika kau tidak mampu mengartikannya. Aku akan dengan senang hati mengartikanya untukmu, pumpung hatiku sedang baik saat ini"Sekali-kali Ibu bilang Tidak gitu lho" kurang lebihnya seperti itu yang ayahku maksud. Ah, apa yang aku perbuat hingga mereka kembali gaduh. "Apa mereka tidak malu padaku???" Ucap batinku.
"Ibu kan cuman pingin masa depan Riris lebih baik Pak" Aku kembali menghela nafas dan menelan ludah sambil sesekali menatap Maria dengan tatapan yang mengisyaratkan bahwa kau harus memaklumi keluargaku Mar. Kau adalah salah satu orang yang kupercaya selama ini. Akupun mampu membaca tatapanya padaku yang bila aku tak salah mengartikan. Dia berkata Kau tidak perlu malu padaku Ris. Itu yang aku fahami, jika aku salah arti, maafkan aku ya.
"Untuk apa buk??? Kan Bapak sudah bilang, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Buang-buang duit saja"
Lagi-lagi aku mendengarnya, dan yang paling mengerikan adalah ketika kawanku mendengar sekelebet kalimat yang diucapkan ayahku dengan nada setengah teriak. Ah, sebenarnya aku malu. Rasanya ingin kubanting lampu pemberian orang tua Maria kepadaku. Tapi itu tidak mungkin kulakukan saat ini, jelas-jelas Maria masih berada dihadapanku sekarang.
Kebetulan saat itu beberapa lampu dirumahku mati dan kebetulan juga orang tua Maria memiliki toko Lampu yang terletak di daerah Pedurungan Semarang. Kebetulan juga aku diminta ayahku untuk membeli beberapa untuk membuat rumahku sedikit lebih terang seperti sebelumnya.
Saat itu mendung, lebih tepatnya hujan sudah mulai turun ketika aku sampai dan berada di garasi rumahku. Saat itu sudah terlalu larut. Aku bersyukur karena kami tidak terjebak hujan di jalan. Tapi saat aku sampai, sepertinya aku jauh lebih bersyukur apabila kami terjebak dijalan, itu artinya aku tidak perlu mendengar percakapan mereka.
"Mar, sampaikan maafku pada Ibumu ya"
"Maaf untuk apa?"
"Tadi makananya kuhabiskan"
"Halah sudah biasa Ris"
"Biasa apa?"
"Biasa merepotkanlah" Tentu saja ucapanya yang terakhir Ia bubuhi dengan tawa karena kau tau kan. Ia berusaha membuatku merasa nyaman saja. Ia sudah menganggapku seperti saudara. Katanya sih begitu, tapi aku tak lantas percaya begitu sajalah. Kapan Ibuku bercumbu dengan Ayahnya atau kapan Ayahku bercumbu dengan Ibunya. Haha dia aneh, kau harus tau dia.
Oh iya, aku lupa memperkenalkan diriku. Sebelum ceritaku kulanjutkan, kurasa aku harus mengenalkan diri pada kalian. Semoga kalian senang mengenalku.
Kenalkan, namaku Riris, kata Ayahku Riris memiliki arti sebagai perempuan yang pemberani. Saat ayahku berkata seperti itu, dalam benakku tersirat" Jika kelak aku berani membangkangmu, jangan salahkan aku ya ayah. Kan itu doa mu", ah tapi ayahku cerdas ternyata. Ia menambahkan Andini Putri di belakang nama Riris, lebih tepatnya ayahku menamaiku Riris Andini Putri. Ah, sama saja bohong. Kalau kalian belum tahu Andini itu artinya apa. Maka saat ini juga aku akan memberitahumu bahwa Andini artinya adalah penurut. Jadi mereka berdua menamaiku seperti itu berharap aku menjadi gadis penurut yang pemberani, mungkin seperti itu. Waktu kecil aku mencoba bertanya.
"Ayah, kenapa namaku harus begitu?"
"Kenapa? Terlalu bagus ya?"
"Tidak lah, Biasa saja"
"Piye? Daripada ayah namai kamu Kompor? Kamu mau?" Ucapnya sambil tersenyum
"Kalau itu bisa membuat ayah dan Ibu senang, coba saja. Aku kan milik kalian"
Aku lahir dari Ayah yang bekerja sebagai buruh di salah satu Industri di Semarang. Namanya adalah Bahri, Tapi dua tahun setelahnya Ayahku kena PHK besar-besaran. Jadi setelah itu, beliau bekerja sebagai buruh serabutan.
Sedangkan Ibuku bernama Santi. Ibuku hanyalah Ibu rumah tangga biasa, dari dulu sampai sekarang. Pangkatnya tidak naik-naik, dari dulu sampai sekarang tetap menjadi Ibu Rumah tangga biasa, oh salah. Ia adalah Ibu rumah tangga teladan karena sering kumpul Ibu PKK sekomplek. Maaf aku lupa, hehe.
Aku lanjutkan perkenalanya. Aku memiliki seorang adik laki-laki, namanya Azam. Dia duduk di kelas 5 SD saat aku duduk di kelas 1 SMA. Jadi kita selisih 5 tahunanlah. Dia itu manis, tampan, kulitnya cukup putih seperti Ibuku, ya cukup bersihlah jika dibanding kawan-kawannya yang lain, Dia juga cukup pintar, tapi belum bisa mengalahkanku. Mungkin jika saat itu Dia seusiaku dan sekelas denganku, Dia akan lebih cepat mengalahkanku. Karena faktanya, Dia sebenarnya lebih pintar dariku. Sudahlah, jangan terlalu memujinya, jika Dia membaca tulisan ini, aku takut Dia akan jadi besar kepala. Nanti ngempesinya pakai apa dong?
Oh iya, aku duduk di kelas 1 SMA pada saat itu, kalau aku tidak salah aku masuk pada Bulan Juli tahun 1998. Ah sudahlah, tak penting juga aku menyampaikan bulan apa aku masuk dan terdaftar sebagai murid SMA. Yang jelas, aku akan menceritakan kisahku yang mungkin tidak terlalu menarik menurut kalian, tapi menarik menurutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Jawa
Teen FictionMenceritakan tentang sebuah kisah dari seorang siswa yang bernama Hana yang mengaku berasal dari masa depan dan memiliki misi untuk menyatukan Aksa dan Riris agar Ia bisa kembali ke dunianya. Namun tidak semudah itu untuk menyatukan Aksa dan Riris m...