Ep. 1 Part 2

27 2 0
                                    

Ketika aku pulang Bersama Maria, dia mengajakku ke suatu kos-kosan yang tak lain adalah milik Anggitya. Orang tuanya adalah juragan kos saat itu. Sampai sekarangpun masih. Alhamdulillah, Anggitya yang meneruskan usaha orangtuanya sambil Ia membuka toko kue yang ada di jalan Majapahit Semarang.

"Kita mau tidur Mar?"

"Ngarang kamu"

"Lalu?"

"Lihat" Kata Maria sambil menunjuk seorang gadis yang tengah memakan sebuah apel merah yang kelihatanya sangat enak. Dia tengah asyik menonton tivi saat itu.

"Maksudnya apa? Dia siapa? Untuk apa menunjukan wajahnya padaku?" kataku pada Maria dengan tatapan penuh pertanyaan, buka karena aku jijik pada wajahnya. Dia cantik kok dan terlihat sangat berbeda dari kami. Tapi yang aku pertanyakan adalah untuk apa dia membawaku kemari dan mempertemukan kita. Untuk pertama kalinya, aku merasa sangat kebingungan.

"Coba kamu temui dia"

"Untuk apa?"

"Ajaklah dia kenalan"

"Tidak penting tau"

Tiba-tiba Maria mendorongku hingga aku tak sengaja jatuh di hadapan gadis tersebut. Aku lihat lekat-lekat gadis itu dan aku teringat satu kejadian.

"Kamu yang nolongin nenekku kan?"

Dia masih tetap diam seolah tersihir oleh wajahku, entah waktu itu bedak apa yang aku pakai hingga dia begitu terpaku padaku. Aku pun melanjutkan perkataanku

"Waktu itu kenapa kamu lari? Seperti tergesa-gesa sekali"

"Kamu bisu? Bisa bicara tidak?"

"Woy"

Segera Maria menarik tanganku dan menepuk bahuku.

"Kamu galak sekali ris, persis ayahmu"

"La salahnya diam saja kaya orang bisu"

"Diam bukan berarti bisu, Dia hanya belum punya kata-kata untuk mengatakan sesuatu"

Aku menoleh dan melihatnya lagi dan akhirnya kalimat yang keluar dari mulutnya pertama kali adalah "Ibu, Kau cantik sekali"

Demi apapun ya, ingin rasanya aku jotos mulutnya yang mengatai aku dengan sebutan "Ibu" namun Anggit yang baru saja datangpun mencegahku untuk melakukannya. Setua itukah wajahku hingga aku dipanggil ibu oleh gadis yang juga seusia denganku. Ingin rasanya kujambak rambutnya biar dia botak sekalian. Kukatakan pada kalian, aku adalah Riris dengan tempramen tinggi, jika mau mengukur kesabaranku dari nilai 0 sampai 10, maka tingkat kesabaranku adalah 4. Nilai yang sangat tinggi menurutku dan mungkin levelnya bisa berkurang menjadi 3 saja.

Kami duduk berempat dengan kursi yang mengelilingi satu meja kaca dengan berbagai macam buah-buahan. Anggitya khusus membelinya untuk gadis ini, Namanya adalah Hana.

Aku, Maria, Anggirya dan Hana duduk saling menatap hingga akhirnya kalimat jawakupun keluar. "Kowe ki sopo kok wani-wanine ngaku anakku. Kapan aku nikah karo bapakmu he?"

Anggit menyenggol bahuku sambil berkata

"Percuma ngomong jowo, ndeknen ora bakal faham ris"

"Wong ndi?"

"Takok dewe to"

Kurasa, hanya kami bertiga yang faham apa yang kami ucapkan barusan. Bahkan Hana saja terlihat begitu kebingungan saat itu. Baiklah akan kucoba menterjemahkan apa yang kami bicarakan. Kurang lebihnya seperti ini.

"Kamu itu siapa, kok berani-beraninya mengaku anakku. Kapan aku menikah dengan Bapakmu?"

"Aku Hana bu"

"Kamu panggil aku ibu lagi, tadi kan sudah sepakat tidak memanggilku ibu"

"Tenang Ris, Hana juga memanggilku dan Anggit tante kok"

"Tenang bagaimana?"

"Aku itu anakmu di masa depan bu"

Omong kosong macam apa yang sedang kudengarkan saat itu. Sungguh aku merasa sedang di bodohi dan sedang dikerjai oleh mereka bertiga. Aku yakin sekali mereka sekongkol untuk membuatku terlihat bodoh dan akhirnya mereka akan berkata" Selamat ulang tahun..."

Tapi masalahnya, aku tidak sedang ulang tahun saat itu. Aku mencoba menghela nafas sebelum kulanjutkan mendengar seluruh penjelasanya. Dengar, aku masih belum percaya oleh perkataan mereka. Memangnya dia itu manusia atau jin? Bisa teleportasi seperti itu.

"Aku menemukanya didepan Gedung tua dekat rumah nenekku"

Gedung tua yang dimaksudkan oleh Maria adalah Gedung Horison yang sekarang berdiri rumah susun dibelakangnya. Mungkin itu adalah Gedung peninggalan Belanda, disana pohonya besar-besar dan sepi. Tapi saat ini sudah banyak rumah di sekitarnya.

"Kamu fikir apa dia? Untuk apa dibawa kemari? Kenapa tidak di bawa ke polsek saja?"

"Dia tidak mau"

"Ya harus mau"

"Kenapa?"

"Kalau begini kan kita yang repot"

"Repot apa?"

"Kita harus kasih makan, kasih tumpangan, dan jaga emosi"

Saat itu aku tengah berdiskusi dengan Anggit dan Maria. Mereka tidak memberitau pada polisi dan memilih menampung Hana karena permintaan Hana yang begitu kuat, dan anehnya mereka berdua percaya begitu saja pada si Hana ini.

"Terserah kalianlah, yang jelas jangan repotkan aku. Kalian kan tau bagaimana keluargaku"

"Aku yang kasih tumpangan di kos ini"

"Aku yang akan memberi makan"

"Yang nyekolahin siapa? Kita kok jadi ibunya begini sih. Kan kita smua seumuran. Makan minum saja masih minta orang tua"

"Iya sih"

"Konyol tau"

Aksara JawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang