Bohong.
Semua itu hanya bohong besar, keluar dari mulutnya dengan lancar dan lugas. Tapi satu titik kecil dalam hatinya berteriak keras, menolak semua pemikiran yang ia anggap tepat beberapa hari yang lalu.
Taeyong mengintip dari celah roller blind, menarik kedua sisi wajahnya, dan melepaskan jari telunjuknya dari tirai horizontal itu. Jaehyun sudah menunggunya, berdiri bersandar pada tiang lampu di seberang jalan kantornya. Beberapa menit yang lalu dia sudah mengirim pesan singkat pada vampire itu bahwa dia harus menyelesaikan setidaknya dua judul naskah sore ini, beralasan tentu saja.
Taeyong sudah selesai membaca dan mengoreksi dua judul buku yang diberikan bos-nya, dan ulasan tangannya sudah siap diserahkan besok pagi. Satu-satunya hal yang menahan tubuhnya untuk terus duduk dibalik meja kerjanya adalah Jaehyun sendiri.
Berada dalam jarak lima langkah saja membuatnya meluap-luap, ingin setidaknya perasaan egois dalam dirinya meledak didepan Jaehyun. Menyuarakan seluruh kegelisahan yang menumpuk didalam dirinya, ditambah sehelai bulu saja Taeyong yakin tumpukan itu akan porak poranda.
Mereka menikmati hari-hari lalu selayaknya kekasih yang umum, menghabiskan sebagian waktu untuk bermesraan didalam bus, kereta bawah tanah, atau bahkan taksi setiap Taeyong pulang kerja. Munafik jika mengatakan Taeyong tidak menikmati itu semua, nyatanya itu adalah pelepas penat terbaik yang dia miliki. Nyaris sembilan jam penuh meneliti karya para penulis yang hampir separuhnya adalah amatiran sangat menguras pikiran dan membuat satu sisi kepalanya berdenyut, tapi bahkan itu semua hilang dalam satu detik menatap mata kekasihnya.
Jatuh dalam retina Jaehyun yang gelap, membiarkan kakinya bergerak bebas, dan melemparkan tubuhnya kedalam pelukan Jaehyun yang dingin dan keras. Setidaknya dia selalu berusaha ingat bagaimana Jaehyun membalas pelukannya, rengkuhan lengannya yang kokoh, kulitnya yang beku, dan bibir pria itu yang terasa keras dan dingin dibibirnya sendiri.
Satu pikiran melintas dibenaknya saat mereka turun dari bus yang penuh sesak beberapa hari yang lalu, mengusik kepalanya hingga detik ini.
Taeyong selalu berfikir bahwa nanti setelah dia mati, Jaehyun akan membutuhkan sangat sedikit waktu untuk menemukan penggantinya, melupakan dia sepenuhnya, dan melanjutkan kehidupannya yang panjang tanpa perlu lagi mengingat apapun yang berhubungan dengan Lee Taeyong yang sudah mati.
Bahkan sekarang kemungkinan itu terdengar lebih baik, dan jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan isi kepala Taeyong beberapa hari ini.
Bagaimana jika Jaehyun akan melupakan dia bahkan sebelum jantungnya berhenti?
Meninggalkan nya seperti onggokan sampah yang sekarat dan tak berguna, menertawakan betapa bodohnya Lee Taeyong yang tenggelam akan makhluk immortal yang tak tersentuh.
Apapun kalimat penghibur yang bisa dipikirkan otaknya serasa merembes keluar begitu saja, menyisakan gagasan menyakitkan itu didasar kepalanya. Taeyong lebih suka dilupakan saat dia sudah mati, saat dia sudah tidak bisa merasakan apapun lagi. Bukan saat dia sekarat dan masih bisa melihat hidupnya yang tidak berarti, dan menjijikkan.
Angin menerpa wajah Taeyong yang pucat, matanya lagi lagi terpaku pada sosok sempurna yang melangkah menghampiri nya dari seberang jalan.
Membiarkan lengan itu melingkar pada pinggang kurusnya, dan menuntun langkah Taeyong meninggalkan tempatnya bekerja."Aku tidak akan bertanya apa yang ada dalam kepalamu sekarang ini," ingatkan betapa Taeyong menyukai suara pria ini masuk dalam pendengarannya.
"Sama seperti yang kau minta, kan?"
"Ya, persis seperti itu."
Kemarin Taeyong memaksa Jaehyun untuk berjanji bahwa dia tidak akan menyuarakan apapun atau bahkan bertanya apapun pada Taeyong tentang perasaan atau gagasan apa saja yang sedang hinggap di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rose
FanfictionBiarkan kepekatan itu menjadi diriku sepenuhnya, biarkan aku masuk, dan menjadi bagian dalam kehidupan mu yang panjang...