Hiruk-pikuk remaja yang bersenang-senang malam ini seakan tidak terhentikan. Musik pop mengalun mulus, menjadi pembangun suasana yang tepat. Euforia terasa di segala sudut halaman belakang rumah Salsha yang asri. Namun, pengecualian berlaku di salah satu sudut tempat ini.
Di mana dua insan berdiri mematung, berhadapan. Sibuk dengan jalan pikirannya masing-masing.
Tiada yang mampu menghambat bulir cairan mata itu untuk turun mengaliri pipi Athalia. Bibirnya terkatup rapat. Isakan seakan enggan keluar dari mulutnya, mengingat begitu dalam belati itu menembus hatinya.
Ucapan Iqbaal beberapa detik yang lalu... menjawab semuanya.
Iqbaal mendongak saat sudut matanya menangkap pergerakan Thalia mengusap pipinya sendiri. Sebagian dari pikiran Iqbaal sudah menduga ini akan terjadi, namun tidak bisa dipungkiri bahwa keterkejutan masih ada di tengah-tengah prasangkanya akan reaksi Thalia.
"Lo... nangis?"
Gadis itu tersentak akibat terlalu larut dalam memorinya sendiri. Ketika Iqbaal ditatapnya kembali, belati rancung itu kian mencelus. Walau kini yang ia coba acukan adalah senyuman tipis.
"Nggak. Cuma mata gue keluar air."
Kekehan Iqbaal terdengar. Beberapa menit yang lalu tawa kecil itu selalu ingin Thalia dengar. Namun saat itu, Thalia benar-benar berharap tak akan mendengarnya lagi.
"Iya. Kalo gitu," Iqbaal menggaruk kepalanya iseng, "kenapa mata lo keluar air?"
"Ah?" Thalia untuk yang kedua kalinya mengusap air mata. Pikirannya bolak-balik mencari alibi yang tepat.
Kenapa?
Kenapa mata gue keluar air?
Kelilipan biji salak.
"Jangan nangis," kata Iqbaal, "gue susah loh mikirnya."
Thalia melirik Iqbaal. "Mikir apanya?"
"Mikir gimana cara gue ngomongin ini tanpa nyakitin lo."
Thalia terdiam. Sisi bodoh Iqbaal kembali terlihat dan ia sungguh ingin meneriakinya.
"Berarti lo tau kalo lo bakalan bikin gue sakit?"
Kepala Iqbaal tertunduk. Tahu tentang hal tersembunyi dibalik nada bicara Thalia yang bergetar.
"Maaf."
Iqbaal kembali mendongak, mata sayu Thalialah yang dihadapkan padanya sekarang. "Tapi kalo gue gak bilang gini, lo bahkan bakalan lebih sakit. Karena gue emang gak bisa... ya... gitu."
Suara lirih milik Thalia terdengar. "Berarti lo pikir ini waktu yang tepat buat bilang ke gue, ya."
"Kenapa? Gue ngomong di waktu yang salah, ya?"
Ah, sial. Air mata itu kian gemar menyusuri pipi Thalia. Sekeras apapun ia berusaha menyembunyikan raut pilunya saat ini dari Iqbaal, Thalia tahu Iqbaal tidak sebodoh itu untuk mengira air matanya adalah keringat.
"Gak salah. Dan gak bener juga," jawab Thalia, lemas.
Iqbaal terlihat lebih berhati-hati dalam ucapannya, entah mengapa. Mulutnya perlahan membuka, membiarkan kata-kata yang sebelumnya sudah ia pikirkan keluar.
"Kok gitu?"
"Karena gue gak akan pernah berharap lo bakal bilang kayak gini."
Getaran dalam hela napas Thalia semakin kentara. Dadanya sedari tadi mengidap rasa nyeri yang tak bisa diterjemahkan. Bagaimanapun, senyum pahit itu tetap ia coba tunjukkan untuk lelaki di depannya.
Thalia tahu jika ia lebih lama berdiri di sini, mustahil untuk hatinya tetap berdiri kokoh. Mulut Iqbaal akan menghunusnya sekalipun yang diucapkan adalah sesuatu yang berusaha menguatkannya.
Karena suara Iqbaal telah menjelma menjadi racun bagi Thalia.
Maka Athalia Latief mempersembahkan senyum termanis yang bisa ia buat, sebelum akhirnya berbalik pergi, menyisakan dua hal.
Iqbaal Dhiafakhri dan hati remuknya.
•••
"Jadi... gitu." Thalia membenamkan wajahnya, menatap sneakersnya lekat. Enggan melihat wajah simpatik Karel untuknya setelah segala rasa yang berkecamuk dalam dirinya ia bagi dengan lelaki itu.
"Oke," Karel menghela napas berat, "karena lo udah mau cerita, gue traktir cheese cake satu lagi!"
Seruan menghibur Karel sedikit mengundang wajah semringah Thalia. Ia memandangi sepotong cheese cake di atas meja yang ia tempati bersama Karel siang ini.
"Ini aja belom kelar." Thalia mengangkat kue yang tinggal setengah itu kemudian mengacukannya pada Karel yang duduk berhadapan dengannya.
"Udah. Gue tau lo suka cheese cake ya 'kan?"
Yang terdengar selanjutnya adalah teriakan Karel memanggil pelayan cafè sebelum akhirnya dunia nyata Thalia perlahan pudar. Gerbang lamunannya kembali terbuka.
Thalia hanya merasa Karel adalah orang pertama yang harus ia beritahu tentang beban yang menimpa batinnya selama beberapa hari terakhir. Mengingat lelaki inilah yang seakan ingin ikut masuk ke dalam dunianya.
Bahkan Steffi pun ia kesampingkan dalam hal ini.
Mungkin karena Thalia ingin berbagi dengan orang yang sedikit... berbeda?
"Tha?"
"Hm?" Jujur Thalia sedikit terkejut. Beruntung ia tidak sampai menampakkan gestur yang memalukan setelah suara Karel membuatnya ingin meloncat dari tempat duduk saat ini juga.
"Masih mau pesen cheese cake yang sama, or lo mau coba Japanese cheese cake?"
Ah, cheese cake.
Thalia cukup terkejut ketika mengetahui seharusnya kue itu mengingatkannya pada Iqbaal. Bahkan sekarang ia membiarkan Karel memesan sepotong lagi untuknya.
Kali ini, Thalia hanya ingin melarikan diri dari bebannya. Mencoba mengubur dalam harapan yang pernah ia bangun untuk seseorang. Membiarkan hatinya pulih seiring memudarnya kenangan.
"Red velvet aja deh, Rel."
Membuang jauh cinta kekalnya untuk Iqbaal.

KAMU SEDANG MEMBACA
FEEDBACK | IqbaalDR✔
Fiksi PenggemarPunya jantung tapi gak punya hati. Itu orang apa pohon pisang?