Rak-rak tinggi itu penuh dengan susunan buku. Naraya sudah satu jam berada di lantai dua toko buku ini, tepatnya di bagian novel. Ia berkutat sendiri membaca blurb di belakang beberapa buku, bergumam, membandingkannya satu per satu. Ia ingin membeli semua buku itu tapi ia sadar, di kamarnya sendiri masih ada beberapa buku baru yang masih terbungkus plastik.
Setelah mengambil tiga novel yang dianggap menarik, Naraya berbalik. Sesuatu yang cukup keras menabrak, kepalanya sampai pusing. Naraya membuka mata dan melihat apa yang ada di depannya. Cowok dengan rambut jagung itu hanya diam. Permintaan maaf tidak juga terlontar dari mulutnya.
Naraya menunggu permintaan maaf sembari mengusap pelipisnya.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Oke, cukup.
"Lo itu kalo jalan pake mata, sih!" sembur Naraya kesal. Untuk kali kedua, Renard menabraknya lagi. "Kalo dua mata lo kurang, lo beli kacamata!"
Beberapa pengunjung menoleh karena suara Naraya cukup nyaring. "Di Indonesia Raya yang terdiri atas beratus juta manusia, kenapa cuma lo yang hobinya melintang kayak portal, ngehalangin gue?!"
"Ck. Bisa nggak, jangan menuduh orang sembarangan? Kamu yang tabrak saya." Renard menunjuk kening Naraya dengan ujung buku masih bersampul plastik.
Naraya mendelik sebal, tapi mulai menurunkan suaranya. "Mata lo di mana? Ditinggal di Wakanda? Makanya kalo jalan matanya dipake, Masbro. Hobi kok nabrak orang? Piara sapi kek, ayam kek, ada hasilnya! Berfaedah buat orang lain!" ceramah Naraya judes.
"Saya jalan pakai kaki, bukan pakai mata!" sela pemuda itu, "itu pisau atau mulut? Tajam sekali."
"LEMPER!" balas Naraya sambil berkacak pinggang. "Suka-suka gue, mulut-mulut gue! Kalo nggak mau dengar, tutup kuping lo!"
Cowok itu berdecak lagi. "Pollutant."
Mata Naraya membesar dibilang polusi. Dia sudah mencerca Renard dalam hati. Titik didih otak Naraya bahkan sudah mencapai 95 derajat celcius. "Mulut lo belum pernah dicium pakai sandal jepit, ya?"
Renard lalu menjawab santai, "Belum pernah. Bibir harusnya dicium memakai bibir juga."
Naraya tertawa mengejek. "Jones."
"Jones?" Cowok itu sepertinya tidak mengerti maksud Naraya.
"Jomlo ngenes," jelas Naraya cepat. "Single and hopeless."
Renard yang akhirnya mengerti lantas memajukan badannya, berbisik ke telinga Naraya, "Seperti kamu tidak hopeless saja. Kasihan kamu ditertawakan buku-buku, dari tadi bicara sendirian!" Ia tersenyum tipis dengan tatapan mata yang menusuk dalam.
Muka Naraya memerah. Ternyata tadi Renard melihatnya berbicara sendirian. Tangannya mulai gatal dan ingin sekali menghantam kepala makhluk aneh di depannya dengan buku tebal, tetapi ditahannya. Ia meninggalkan anak sombong itu dan pergi mencari makan.
Baru saja Naraya masih menikmati es nangka sambil memejamkan mata ala Chef Marinka sedang blind taste test, tiba-tiba sebuah nampan mendarat di depan mukanya. Buyar semua konsentrasinya. Waktu Naraya mengangkat muka, terlihatlah sosok pengganggu yang membuatnya muak sedari tadi. "Lo lagi, lo lagi! Ngapain lo?"
Renard lantas berbasa-basi, "Saya boleh duduk di sini?"
"Enggak! Empet gue liatnya. Hush! Hush!"
Renard mengangkat kembali nampannya, menatap sekeliling. Di sekitar mereka memang sudah tidak ada meja kosong. Wajahnya terlihat kehabisan akal, tampak bodoh, dan sumpah lucu banget. Naraya menahan tawa. Bisa juga si koreng babon cengo gitu. "Ya udah, duduk gih," tawarnya judes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Bumi, Semesta Berbicara [Moving]
Teen FictionCerita ini pindah ke Dreame dengan judul PERFECT REVENGE Jutek dan sarkas. Semua juga tahu kalau Naraya itu cewek tak tersentuh. Atlet Putri Panjat Tebing itu hanya bisa didekati oleh penghuni kantin Pasuspala. Kesan sombong dan tidak peduli yang me...