Naraya terburu-buru melewati koridor yang cukup ramai. Dia memotong jalan dari tengah lapangan kemudian menapaki lorong kecil di samping koperasi. Beberapa yang mengenalnya, langsung memberi jalan. Gawat. Dia sudah telat cukup lama.
Sadar kalau telat adalah hal yang fatal untuk Pasuspala, kakinya mulai berlari. Tangannya menyibak orang-orang yang berdiri di koridor. Sesekali, kaki Naraya juga mengerem sebelum meminta diberikan jalan. Heran. Ada kantin, ada bangku pinggir lapangan. Kenapa mereka hobinya berdiri macam badut Ancol, sih?
Namun, langkah Naraya terhuyung saat sesuatu menghantam badannya. Dia yang dengan cepat menguasai diri langsung menatap sang penabrak. "Mata lo di mana? Lo sengaja nabrak gue?"
Cowok yang menabraknya membelalak. Dahi putih itu berkerut. Ada terkejut juga rasa tidak terima yang kentara. "Kamu yang sprint tidak lihat kanan kiri. Kamu yang menabrak saya."
Alis Naraya menaik. Baru ini dia mendengar orang berbicara dengan bahasa Indonesia baku. Matanya refleks memindai sosok yang tampak asing. Cowok bertubuh tinggi dengan rambut kecokelatan yang terlihat blasteran ini tidak pernah dia tahu sebelumnya. Dan kelihatannya cowok itu juga tidak mengenal dia. Naraya melengos. Sebentar saja tidak masuk sekolah, tempat ini sudah dipenuhi banyak orang asing.
"Wasting time banget sih lo. Udah hengkang dari depan muka gue!" Naraya mengibas tangan dan mendorong bahu cowok itu agar menyingkir. "Hus... Hus... Balik ke alam lo sana."
Naraya kembali berjalan setengah berlari menuju salah satu pintu pada bangunan di sebelah kanan. Bangunan itu adalah satu bangunan besar yang terdiri atas ruang-ruang sekretariat untuk beragam organisasi di sekolah. Sialnya, entah kenapa saat telat begini, sekre Pasuspala yang paling pojok belakang terasa sangatlah jauh.
Hari ini, dia bangun kesiangan. Waktu sudah menunjukkan pukul pukul sembilan pagi ketika matanya terbuka sehingga terburu-buru berangkat ke sekolah tanpa sempat memeriksa ponsel. Tentu saja ia melewatkan instruksi dari grup Pasuspala untuk kumpul di sekre.
Pasuspala kependekan dari Pasukan Khusus Pencinta Alam, Organisasi Pencinta Alam sekolahnya. Pasuspala yang disingkat menjadi PSPL itu sering dibaca dengan bahasa slang; Pespel. Entah siapa dulu yang kasih ide. Mungkin menurut senior, Pespel lebih mudah diucapkan.
Sembari mengatur napas, Naraya yang sampai di pintu dengan plang bertuliskan Pasuspala mulai mengetuk. Ia paham konsekuensi keterlambatannya.
"Masuk!" Suara dari dalam menyahut.
Naraya memunculkan kepala. "Maaf telat, Kak."
Di depan ruangan, ada Adjam sedang bersedekap. Ketua Pasuspala yang sedang menjabat itu menoleh ke arahnya. "Lo telat lima menit, ambil posisi."
Naraya bersiap dalam posisi push up dan menunggu arahan selanjutnya.
"Dua seri, tangan dikepal," titah Adjam, membuat Naraya menelan ludah. Dia menyelesaikan hukuman dengan cepat dan tanpa protes, kemudian duduk di sebelah Ajeng yang menjadi satu-satunya saudara perempuan di angkatan 13.
"Kebetulan Nay sudah datang. Gue langsung ke pokoknya aja, ya." Adjam menatap semua peserta rapat. "Jadi gini, gue sama pengurus angkatan 12 sudah memutuskan. Berdasarkan pengalaman kami kemarin, kita harus ganti strategi. Pada tahun kepengurusan kami, nggak ada wakil pengurus yang duduk di OSIS. Nah, di tahun kepengurusan kalian, kita harus balik ke sistem lama," ucap Adjam sambil duduk di meja.
"Kita mesti kembali lagi duduk di OSIS," putusnya. "Tenang, kita nggak perlu turunkan beberapa orang untuk duduk di sana, cukup satu orang aja. Lebih baik satu ekor macan daripada lima ekor tikus."
Di sekre Pespel saat ini terdiri atas pengurus angkatan 12 yang baru naik ke kelas 12 dan junior angkatan 13 yang baru naik ke kelas 11. Ada sekitar tiga puluh lima orang berkumpul di ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Bumi, Semesta Berbicara [Moving]
Teen FictionCerita ini pindah ke Dreame dengan judul PERFECT REVENGE Jutek dan sarkas. Semua juga tahu kalau Naraya itu cewek tak tersentuh. Atlet Putri Panjat Tebing itu hanya bisa didekati oleh penghuni kantin Pasuspala. Kesan sombong dan tidak peduli yang me...