SATU: NARAYA HARDIYANTO

10K 399 40
                                    

"Terlambat?"

Seorang guru piket sudah berdiri di pos satpam ketika Naraya masuk. Dari sorot matanya, bapak itu terlihat tidak senang akan keterlambatan Naraya. Apalagi dia datang pukul sembilan dengan wajah tidak berdosa.

Naraya yang sudah memarkirkan skuter lantas meraih lipatan kertas yang ada di kantong samping tas. Surat itu disodorkan ke guru tersebut. "Saya dari menghadap Pelatda, Pak."

Perlahan, sang guru mulai membaca surat pengantar yang ada. Surat yang menerangkan kepulangan Naraya dari Pelatnas di Yogyakarta yang kemudian proses latihannya dialihkan di bawah pengawasan Pelatda. Guru itu mengangguk dan mengembalikan surat ke Naraya. "Lain kali, kalau bisa jangan sampai memotong waktu belajar."

Naraya tersenyum tipis dan berlalu dari pos satpam. Budi, sang satpam, juga meliriknya. Dari tatapan Budi, Naraya tahu kalau pria itu terkejut. Mungkin Budi tidak percaya Naraya yang terkenal sebagai tukang melompati dinding belakang, kali ini, malah datang dari pintu depan. Senyum miring di wajah Naraya masih berlekuk. Diam-diam, dia menertawakan kebodohan mereka.

Tentu saja, sekarang dia punya surat sakti. Surat yang membuatnya bebas dispensasi kegiatan belajar mengajar. Nama Naraya masuk ke dalam deretan atlet yang akan mengharumkan nama Indonesia. Sehingga saat ini, jika terlambat sekalipun, Naraya tidak perlu lagi melompat diam-diam. Seperti yang dilakukannya saat kelas sepuluh, dahulu.

Kaki berbalut sepatu gunung itu berjalan santai di koridor yang membentang sepanjang lantai satu. Naraya mendengkus saat menyadari beberapa pasang mata dari kelas-kelas yang dilewatinya melirik ke arahnya. Dia tahu dirinya akan menjadi perhatian, muncul di sekolah menjelang jam istirahat. Di saat adik-adik kelas sedang belajar, dia malah cuek menyandang ransel di depan dada. Cukup kontroversional mungkin. Ketika murid telat akan terlihat sebagai makhluk paling mengenaskan seluruh dunia, dia malah melangkah jemawa. 

Denganmengantongi tangan di saku rok, dia mengamati sekitar. Sebulan setengah tidakmendatangi tempat ini, tak ada yang banyak berubah dari bangunan sekolahnya. Bangunan sekolah bertingkat tiga yang berbentuk seperti huruf U, memutari lapangan badminton, dan juga taman di depan koperasi. Kanopi lebar menutup lapangan itu seolah menyatukan bangunan kanan dan kiri. Gentingnya yang merah marun tampak mencolok dari jauh. Lapangan basket di samping bangunan yang juga sering dipakai sebagai lapangan futsal, lantainya baru diperbaiki. Perubahan yang paling tampak adalah warna catnya yang kini krem. Syukurlah, tidak berwarna hijau kampungan lagi. Setidaknya itu tidak membuat murid baru yang akan mendaftar ke sekolah favorit ini jadi mundur karena tampilan norak. Siapa sih yang memilih cat tembok kemarin? Rendah sekali seleranya.

Narayamulai menimbang. Masuk ke kelas dengan waktu yang mepet bukan tujuannya. Dialalu berjalan cepat ke arah kantin. Lagi pula untuk apa ke kelasnya yang beradadi lantai dua? Buang energi saja. Cewek bertubuh kecil nan kokoh itu memasuki kantin yang masih sunyi. Surat sakti tadi diselipkannya ke dalam tas, lalu tas tersebut ditaruhnya sembarang di kursi. Dikeluarkannya baju yang tadi terselip rapi untuk mengecoh guru, juga melepas lencana nama dan logo sekolah yang tadi ditempel buru-buru menggunakan double tip.

Dia lapar. Penghuni perutnya mulai berdemo.

"Nay! Kangen, deh!" 

Makwo, si pemilik kantin, menjawil pipinya setelah meletakkan bakso. Naraya menyengir. Di sekolah ini terdapat empat kantin dan satu koperasi. Ada kantin depan yang isinya penuh dengan koloni cewek, kantin belakang disebut kantin biru tempat berkumpulnya murid kelas 12, kantin Makwo biasa disebut kantin Pasuspala atau Pespel, sama kantin netral yang bisa dimasuki siapa saja, letaknya tepat di samping kantin ini.

SSebelum makan, Naraya mengeluarkan handgrip dari kantong. Tangan kirinya menekan-nekan benda tersebut, sedangkan sebelah tangan lagi dipakai untuk meracik bakso dengan banyak sambal dan sedikit kecap. Naraya melahap bakso dengan pelan. Sebentar lagi, penghuni kantin ini akan berdatangan.

Langit dan Bumi, Semesta Berbicara [Moving]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang