SECARIK KISAH

2.6K 206 20
                                    

Halaman dengan rumput yang terbentang rapi selalu jadi tempat main yang mengasyikan bagi kedua anak perempuan kelas 6 SD itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Halaman dengan rumput yang terbentang rapi selalu jadi tempat main yang mengasyikan bagi kedua anak perempuan kelas 6 SD itu. Mereka selalu mendirikan tenda yang warna-warnanya mulai lusuh dan menganggap sedang ada di dalam hutan. Tenda itu akan disinggahi jika mereka kelelahan berlari-lari. Di dalam tenda, mereka bermain boneka, bermain bongkar pasang, membaca buku ataupun bercerita bersama. Terkadang jika hari sudah petang dan mulai bosan, kedua anak itu lantas duduk menghadap lapangan kecil yang dibangun untuk bermain basket.

"Ai, Mas Bagas itu kerjanya setiap hari main basket?" tanya seorang anak berambut pendek yang duduk di depan tenda.

"Iya. Setiap sore sehabis tidur siang, dia selalu main basket. Makanya dibikinin Mama lapangan basket," jawab Airin, anak berkuncir kuda yang sedang menyisir rambut bonekanya.

"Nggak capek apa dia main basket melulu?"

Bukan menjawab, Airin malah bertanya kembali. "Kamu sendiri, nggak capek bangun tenda ini setiap hari?"

Naraya, si anak yang berambut pendek, hanya menyengir tampilkan gigi. Pertanyaan dari Airin dirasa tidak perlu dijawab. Airin sudah tahu kalau dia tidak keberatan juga tidak merasa lelah membongkar pasang tenda yang mereka tempati, setiap hari. Asalkan Airin mau bermain dengannya, itu sudah cukup.

Tiba-tiba, sesuatu menabrak kepalanya. Naraya mengaduh. Setelah menyadari itu adalah bola basket, cewek kecil itu memelotot ke arah lapangan yang berjarak beberapa meter dari mereka. "Main yang benar dong, Mas. Kenapa bisa nyasar ke sini, sih?"

Protesnya hanya dibalas kekehan kecil, lantas lelaki gempal yang sudah duduk di kelas 7 SMP itu melanjutkan bermain tanpa peduli. Naraya mengusap-usap kepalanya yang terasa ngilu. Matanya masih melirik Bagas dengan garang. "Mas Bagas ini ngeselin banget, ya?"

Airin tersenyum setelah memperhatikan tidak ada yang luka karena insiden tadi. "Mas Bagas cuma iseng. Sebenarnya dia baik kok, Naya."

Bibir Naraya masih mengerucut tidak terima. Namun, dia nggak mungkin marah-marah. Keluarga Airin sangat baik kepadanya. Anissa, mamanya Airin, juga nggak keberatan kalau dia bermain ke sini, setiap hari. Mungkin Anissa tahu, rumahnya terlalu sepi. Kedua orang tua juga kakaknya sering kali sibuk dan Naraya tidak suka bermain dengan asisten rumah tangga. Mereka terlalu penurut dan tidak asyik.

"Ai, Naya. Ada puding nih buat kalian." Anissa melambai dari pintu samping rumah yang berjarak beberapa meter dari mereka. Naraya dan Airin kontan bangkit, berlari menuju rumah.

Ruang makan yang berada di sebelah taman lalu dipenuhi oleh celotehan mereka berdua. Naraya dan Airin tampak terpukau sekali dengan puding bertoping warna-warni.

"Lucu banget warnanya, Tante. Naya suka lihatnya," ujar Naraya sembari menyendokkan potongan kedua. Puding dingin itu terasa manis dan lembut, pas sekali di suasana yang cukup panas.

"Iya, warnanya kayak pelangi," kata Airin.

"Mudah kok buatnya, nanti suatu saat kita bikin bareng ya?"

Airin dan Naraya mengangguk kemudian berseru antusias. Bermain di dapur asli tentu lebih seru daripada bermain masak-masakan sebab banyak peralatan orang dewasa yang tidak ada dalam masak-masakan

"Ai, panggil Mas Bagas. Nanti sudah keburu habis," ujar Anissa.

Airin berdiri dan memanggil kakaknya dari samping pintu, lalu duduk kembali di samping Naraya. Sepotong puding tidak cukup untuk mereka. "Ma, Ai mau lagi," tutur Airin menyodorkan piring kosongnya.

"Naya juga, Tante." Naraya juga ikut mendorong piring agar diisi kembali.

Bagas datang dengan badan penuh keringat. Anak itu mencomot sepotong puding dan duduk mengempaskan diri di kursi sebelah Naraya hingga keringatnya ikut melompat. Sebelum Naraya protes, Bagas sudah lebih dahulu mengejeknya. "Kalau lapar, pakai nasi."

Naraya mencibir, coba mengabaikan Bagas. Karena tidak ditanggapi, anak itu lalu berdiri dan mengibas badan. Keringatnya terlontar lagi. "Ih, Mas Bagas. Keringatnya sampai ke sini, tauk."

"Kalau lagi makan itu diam."

"Ya, tapi Mas Bagas jorok. Udah nggak cuci tangan, kibas-kibas badan lagi. Keringat Mas Bagas itu bisa masuk ke makanan Naya."

"Bawel," balas Bagas sambil menjangkau segelas jus jeruk yang tersedia dan meneguk hingga habis.

"Naya nggak bawel."

"Lo itu bawel. Dari tadi, bicara aja kerjanya."

"Naya nggak bawel." Naraya bersikeras.

Kejadian itu langsung ditengahi Anissa. "Gas, Naya benar. Habis ini kamu langsung mandi ya."

Naraya tertawa, Bagas misuh-misuh dan Airin hanya terkekeh menonton mereka bertengkar. Suara pagar dibuka membuyarkan keakraban itu. Jemputan Naraya sudah datang.

"Tante, Naya pulang dulu ya." Naraya lalu menyalami tangan Anissa lalu melambai ke Airin. "Dadah, Ai. See you tomorrow." Sembari memakai tas di pundak, Naraya berlalu ke luar.

"Oi, sama gue nggak pamitan?" protes Bagas.

"Enggak, soalnya Mas Bagas resek." Naraya menjulurkan lidah.

"Eeh. Awas lo ya kalau ke sini lagi."

"Bagas," tegur Anissa memperingati anaknya.

Melihat teguran itu, Bagas hanya berdecak sedangkan Naraya mulai mengembangkan senyum kemenangan. Naraya berlari menuju jemputan sambil mengolok-olok Bagas. Dia berjalan menuju mobil dan hendak membuka pintu bagian depan.

"Belakang, Naya," pinta Neira sambil membuka pintu di belakang. Naraya menoleh, melihat siapa yang duduk di depan. Seseorang yang mirip dengan Neira, rambutnya sama panjang. Cewek itu menoleh sambil tersenyum yang dibalas senyuman juga olehnya.

"Adek lo, ya?" tanya cewek itu ke Neira. "Siapa namanya?"

Neira mengangguk sambil menjalankan mobil kembali. "Namanya Naraya. Naya, ini teman kakak. Namanya Irena."

Naraya menatap Irena sesaat dari belakang. Semua teman Neira memiliki kesamaan yang membosankan. Sama-sama berambut panjang, sama-sama memakai kaus kaki setinggi dengkul, bahkan memakai sepatu dan tas yang sama. Apa bersahabat harus seragam semuanya seperti kembaran? Naraya hanya diam menatap jalanan. Rumahnya dan rumah Airin berada di komplek yang sama, tinggal berbelok beberapa blok sudah sampai.

Neira dan Irena sibuk membahas segala sesuatu dengan heboh, sesekali mereka tertawa bising. Pembahasan yang tidak dimengerti dia yang masih SD. Mengapa mereka membicarakan cowok dengan kadar ketakjuban berlebihan?

Naraya yang teringat bagaimana apek dan reseknya Bagas lantas memutar bola mata. Dia lebih dahulu turun dari mobil, berlari cepat ke kamarnya karena menemukan beberapa mobil teman Neira sudah parkir. Rumah akan menjadi sangat ramai oleh mereka dan dia tidak suka. Mengunci pintu menjadi jalan keluar terbaik sampai keesokan harinya, Naraya hanya bisa menggerung kala menemukan Neira terbujur kaku bersimbah darah di dalam kamar.

✨✨✨

Langit dan Bumi, Semesta Berbicara [Moving]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang