Part Eight
Price of Life
Natalie
Sudah lima tahun sejak hari dimana aku menyadari kebodohanku selama ini. Hari dimana aku meruntuki keegoisanku. Hari dimana aku merasa aku menyerah menjadi penurut. Hari dimana aku merasa telah melakukan yang terbaik padahal aku salah.
Tapi itu lima tahun yang lalu. Aku bangkit dari penyakitku. Aku menyembuhkan diriku dan mentalku, yang nyatanya telah rusak. Aku yang selalu ingin bebas dari bayang-bayang ayah dan segala perintahnya. Dan sekitar 6 bulan setelah aku sembuh memutuskan untuk memiliki rumahku sendiri.
Namun aku mendapati diri semakin bisa menghormati ayah dan Maria. Entah kenapa tapi aku menikmati perdamaian dengan mereka atau sebenarnya aku berdamai dengan diriku sendiri.
Ayah berjanji tak akan mengurusi semua pilihan dan keputusanku. Aku hargai itu. Beliau masihlah direktur utama perusahaan, tanpa aku ambil bagian didalamnya. Ya aku menolak pusing untuk semua itu. Dan banyak orang yang lebih layak untuk bisa mengelolanya.
Kini aku disini Membuka yayasan untuk penderita kanker di pusat kota. Yayasan yang mendanai juga memberikan bantuan psikologis bagi penderita maupun bagi keluarga penderita yang kebanyakan dari mereka berputus asa.
Darimanakah dananya?. Tentu saja sumbangan dan sebagian keuntungan dari usaha yang aku miliki. Aku bersama teman teman kuliahku membuka 2 perusahaan. Aku membuka firma hukum terutama di bidang pertanahan dan juga membuka firma arsitek dan sebuah toko bunga usaha pribadiku.
Awalnya kami membuka Firma arsitek. Aku menjadi marketingnya. Dan mendapat banyak keuntungan dari klien-klien potensial. Namun kesulitan untuk membuat surat membangun bangunan. Dan aku membuka firma hukumku untuk mengurusinya dan dibantu temanku yang mengerti. Dan terakhir aku membuka toko bunga hanya karena aku menyukainya. Seperti menjalani hobi ditengah kesibukanku.
Aku bekerja hampir 12/7 setiap harinya. Aku sepertinya tak memiliki waktu untuk menyianyiakan waktu dan pikiranku. Apalagi saat aku melihat anak-anak di yayasan, aku selalu tergerak untuk maju menolong mereka.
Hingga ketika hari itu hari minggu. Entah aku menginginkan sebuah kopi dan kebab di sebuah foodtruck di pinggir jalan. Sebelum aku pergi ke toko bungaku. Aku mengantri bersama beberapa orang yang nampak ingin berolahraga di hari minggu pagi.
Hingga seseorang menegurku.
" miss, kau menjatuhkan ini..." kata seseorang yang tak asing. Aku pun berbalik dan menemukan seseorang yang tak akan pernah kulupa wajahnya.
" Dave...
" Natalie...
Kami saling menatap satu sama lain. Tahun-tahun yang membuatku menyesal. Dan kini aku bertemu dengannya dengan cara kebetulan tak satu pun dari kita untuk bertemu. Aku bisa melihat wajah kagetnya.
" sudah lama sekali, bagaimana kabarmu?" dia berkata seperti orang asing. Atau kita memang asing.
" ya baik... bagaimana dengamu.."
" ya..sama.." aku melihat senyumnya.
Aku penasaran ingin bertanya lebih lanjut, namun kehadiran seorang bocah laki-laki sekitar 3 tahun memeluk kaki Dave dan menatapku dengan wajah penasaran. Perhatianku tersedot pada bocah tampan itu.
" oh Daniel... kenapa menyusul. Kau lebih baik di mobil bersama ibu." Kata Dave mengangkat bocah lelaki itu. Bocah lelaki itu memandangi sambil mengigit jarinya.
" anakmu?.." tanyaku dengan tanpa sengaja... seolah olah kata-kata itu keluar begitu saja dengan sendirinya.
Dave mengerjap sesaat lalu mengangguk. " dia putraku Daniel... usianya 3 tahun..." Dave bercerita dengan dengan wajah berbinar. Dia bahagia... aku entah mengapa bersyukur namun sekaligus pedih karena aku tak mengambil bagian dari kebahagiaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Price of Life
RomanceNatalie hidup dalam pengasingan karena penyakitnya. Atau lebih tepatnya dia mengisolasi dirinya sendiri. Hidup dengan ironi akan penyakitnya. Dia hanya ingin mati dengan tenang dan sendirian untuk menyusul ibunya disurga. Tapi takdir berkata bahwa d...