Part Nine
Price of Life
Natalie
Aku tak bisa melanjutkan tujuanku ke toko bungaku. Dan kini aku memendam diriku di apartemenku seperti seseorang paling menderita di dunia. Sungguh aku begitu menyedihkan sekaligus menjijikan. Aku bahkan tak pernah membayangkan diriku senista ini hanya karena memikirkan Dave sudah berkeluarga.
Aku bahkan baru sadar kalau aku ternyata begitu sakit hati melihatnya bahagia. Dan aku bukan bagian dari kebahagiaanya itu. Aku seperti sampah yang harusnya membusuk dengan menjijikan. Sepulang tadi aku hanya melempar heelsku sembarang dan langsung menubruk tempat tidur, hanya untuk menangisi kemalanganku. Aku bahkan masih memakai trench coat dan tas selempangku.
Aku hanya memendamkan wajahku di bantal dan menangis menyedihkan. Aku malas mengangkat wajahku, aku terlalu malu. Karena ketahuan memakai kalung itu sampai lima tahun lamanya. Aku bahkan merasa tak sanggup untuk melihat dunia. Aku tak sanggup bekerja. Aku bahkan tak sanggup untuk keluar apartement ini.
Aku takut bertemu denganya, yang ternyata dia tinggal di kota yang sama denganku. Aku takut bertemu anaknya lagi. Aku takut bertemu istrinya. Aku penakut yang nyata. Yang bahkan tak pernah kusadari.
Sebenarnya aku kemana selama ini. Kenapa aku tak mencarinya duluan. Kenapa aku terus berfikir dia yang akan datang. Kenapa aku begitu percaya diri kalau dia ada disana untuk bertemu saat dia yakin. Kenapa aku tak berfikir kalau dia bisa berubah. Tentu dia bisa berubah, lantas apa yang pantas pada diriku untuk dipertahankan. Dan kenapa aku terlalu bodoh dan naïf dengan semenyebalkan ini menunggunya.
---
Hari berubah semakin temaram dan aku hanya lemas memandangi matahari tenggelam dari jendela besar di kamarku yang tersibak dari gorden. Aku hanya memandangi semburat jingga itu menyinari wajahku dengan jejak airmata mengerikan. Aku bahkan melewatkan sarapan dan makan siangku dan aku tak berniat untuk makan malam. Aku bahkan tak berniat beranjak dari tempat tidur ini.
Tenggorokanku terasa kering, aku butuh minum dan melihat gelas setengah terisi di meja nakas. Segera meraihnya lalu meminumnya sedikit. Aku kembali berbaring malas. Aku menengadah memandangi langit-langit kamar dengan mata sembab. Dan memutar semua kenangan yang aku ingat yang hampir semuanya tentang kenangan dimana aku selalu memakinya.
Aku kembali menangis menyadari aku memang tak pantas. Sikapku kasar, kata-kataku semuanya kasar. Tak ada sosok lembut dan menyenangkan aku miliki saat berinteraksi dengannya. Dan dengan anehnya aku menangisinya sekarang. Aku menyesalinya.
Wajar jika dia memilih yang lain. Wajar jika dia melupakanku. Lalu kenapa aku marah seperti ini. Tangisku hanya terus pecah dan pecah lagi. Menyesali kelakuanku.
---
Hari semakin malam dan aku lelah menangis. Lampu apartementku gelap total. Dan hanya gemerlap kota yang berpendar lemah menyinari kamarku. Aku tak butuh bangun untuk menyalakan lampu. Aku merasa semuanya runtuh di bawah kakiku, dan tak ada cara untuk bangkit. Buat apa aku bangun seperti seseorang yang tak memiliki masalah. Padahal hatiku sedang sakit.
Ponselku bergetar sejak tadi entah berapa banyak pesan dan telepon masuk aku tak berniat mengeceknya. Aku sedang tak ingin berkata kalau aku baik-baik saja padahal sebaliknya.
Kepalaku berdenyut sakit saat akan melepaskan tas selempangku dan trench coatku. Lalu meraih ponselku dan menelepon sekertarisku. Aku tak berniat masuk kerja besok pagi. Sambil bersandar di tempat tidurku aku membuka kontak Charlie sekertarisku di firma arsitek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Price of Life
RomanceNatalie hidup dalam pengasingan karena penyakitnya. Atau lebih tepatnya dia mengisolasi dirinya sendiri. Hidup dengan ironi akan penyakitnya. Dia hanya ingin mati dengan tenang dan sendirian untuk menyusul ibunya disurga. Tapi takdir berkata bahwa d...