05. Tacenda 2 (ID)

78 6 0
                                    

★✩★

Turunnya hujan di sore hari ini merupakan anugrah dari Yang Maha Kuasa. Ia sangat mengetahui apa yang kurasakan saat ini. Hari ini merupakan hari dimana tugas-tugas kampus harus diselesaikan. Aku harus mengirim berbagai e-mail ke berbagai dosen. Hasil tidak tidur selama dua hari itu baru bisa kukirimkan sekarang. Sungguh melelahkan.

Selain itu, tepat hari ini juga, aku kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Ia merupakan sosok lelaki pemberani yang tidak suka memendam perasaannya. Aku menyukainya.

"Cindy!" panggil seorang wanita. Aku menengok dan tersenyum ke arahnya. Bajunya sedikit basah.

"Hei, Ta," ucapku. Tania Arasya—sang empunya nama—tersenyum simpul dan menaruh tas nya disampingku.

"Sedang apa? Aku mau cerita," ujarnya.

"Mengirimkan e-mail untuk para dosen. I need a good IP," ujarku. Ia mengangguk dan membuka ponselnya. Raut wajahnya berubah setelah membaca sesuatu dari benda kotak bercahaya itu.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Lelaki itu kenapa, sih? Aku ingin mengumpat!" Ia menatap layar ponselnya kesal. Aku hanya mengerjapkan mata, tidak mengerti.

"Kamu inget sama ka Vian yang sering aku ceritain itu? Yang waktu SMP aku taksir tapi dia malah ga ngehargain aku?" Tanyanya. Aku mengangguk. Kami memang sudah berteman sejak SMP. Tetapi sejujurnya, aku tidak terlalu ingat ka Vian itu yang mana—

"Masa dia balik lagi sekarang? Aku udah gaada rasa apa-apa lagi sama dia, tapi dia malah modus terus. Bilang aku udah berubah lah, bilang sekarang aku cantik lah, bilang sekarang kurusan lah, bilang udah lebih feminim lah, kan kesel. Jadi waktu dulu aku jelek banget kah sampai dia ga ngehargain? Jadi dia ngedeketin orang itu cuma lihat dari tampang dan tubuh orang? Orang macam apa! What a shit, man! He's older than me, but he acts like a kid. Why the hell?" Ia terus berbicara tentang ka Vian tanpa henti. Aku menggelengkan kepala. Uh, omongannya membuatku ingin pipis.

"Sudah sudah. Biarkanlah dia. Jangan ditanggepin. Nanti juga capek sendiri. Mending anterin aku ke kamar mandi," ujarku. Ia cemberut tetapi mengangguk. Kami pun akhirnya beranjak pergi ke toilet.

Sepanjang jalan ia terus mengoceh tentang perilaku ka Vian. Aku hanya menanggapi dengan kata 'sabar' dan 'biarkan saja'. Meski begitu, ia terus saja mengoceh.

Setelah selesai dengan urusanku, kami pun kembali ke kelas. Ia mengoceh lagi dan lagi. Tetapi ocehannya berhenti ketika melihat sesuatu di mejaku.

Tubuhku lemas. Are you here, Ga?

"Cindy, sabar ya. Mungkin itu cuma isengannya anak anak," ucap Tania menenangkanku. Tidak. Aku yakin itu Ega.

Reiga Emmanuel satu-satunya yang tau.

Aku menangis sejadinya. Sembari memegang Dream Catcher yang ada di mejaku, aku berbalik ke belakang, melihat tempat yang biasa ia duduki. Aku tersenyum simpul melihat tempat kosong itu.

"Mau ke makamnya?" tanya Tania. Aku mengangguk.

"Ayo," ujarnya. Kami pun membereskan barang bawaan kami. Aku melihat kembali benda yang tiba-tiba ada di mejaku. Sembari menyeka air mata, aku pun membawa benda itu.

Aku dan Tania berjalan cukup jauh untuk sampai ke makam Ega. Setelah sampai disana, aku kembali menangis.

"Ga, maafin aku. Aku sayang kamu," ujarku. Aku menyimpan Dream Catcher tadi di makamnya. Tania menenangkanku. Aku tidak bisa berhenti menangis.

Reiga Emmanuel, maafkan lah aku. Meskipun semua tidak sepenuhnya salahku, maafkan lah aku.

Kau mengkhianatiku, kau mengkhianati kekasihmu. Kata-katamu sungguh menyakitkan, jadi jangan salahkan aku.

Kau menusukku dari belakang,

Jadi kutusuk kau dari belakang.

★✩★

// Hello. This is author speaking.
Mau curhat dulu sebentar.

Jadi ya, kalau boleh jujur, awalnya aku mau buat si cowok ini udah mati, tapi mati nya bukan beneran mati. Mati dimata si cewek. Hehe. Tapi bingung mau gimana. Jadi aja gj gini. Maafin aku:( //

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Plot Twist?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang