04. Tacenda 1 (ID)

108 10 2
                                    

★✩★

Sore hari ini benar-benar indah. Meskipun hujan sedang mengguyur kota ini, tapi aku sangat senang. Saat ini aku sedang berada di dalam kelas, aku memperhatikan gadis yang tengah terduduk mengerjakan tugas di bangku jauh didepanku. Gadis itu terlihat sangat anggun. Aku tidak bisa memalingkan pandanganku darinya.

Oh, ya. Namaku Reiga Emmanuel. Aku merupakan mahasiswa tingkat tiga jurusan Hubungan Internasional di salah satu kampus di Bandung. Sedangkan gadis yang aku perhatikan itu bernama Flavia Cindy. Nama yang indah, bukan?

Sudah hampir setengah jam aku hanya duduk diam memperhatikannya. Tiba-tiba, seorang gadis lain mendatanginya. Bajunya sedikit basah. Aku yakin itu salah satu temannya yang pernah ia ceritakan semasa SMA. Well, yeah. Kami dulu satu SMA. Kami berteman baik. Friendzoned?

Mereka berdua terlihat sedang berbincang, entah mengenai apa. Aku ingin sekali mendengarnya, tapi apa boleh buat. Aku malu mendekatinya padahal aku bukanlah tipe orang yang pemalu.

Selang beberapa menit, mereka meninggalkan kelas. Aku tebak mereka hanya ke toilet atau kantin kampus karena tas dan barang mereka masih tersimpan rapi di tempatnya. Diam-diam, aku menyimpan gantungan Dream Catcher di mejanya. Ia menyukai benda itu. Ia percaya bahwa jika benda tersebut diletakkan di kamar tidurnya, maka ia tidak akan bermimpi buruk. Aku tersenyum simpul.

Hujan mulai mereda dan ia bersama Tania—temannya—baru saja kembali. Mood ku yang pada awalnya sedang bagus, mendadak hancur ketika melihatnya menitihkan bulir-bulir air dari mata yang aku segani itu. Meskipun sedikit jauh, aku masih bisa melihat kesedihan di raut wajahnya. Tania mencoba menenangkannya. Ia terlihat iba. Aku menatapnya terus menerus dan mungkin karena itu, dia melihat ke arahku.

Perlu kuulangi sekali lagi.

Flavia Cindy melihat ke arahku.

Jantungku rasanya tidak karuan. Manik kecoklatan indah miliknya menatapku. Meski begitu, tatapannya kosong. Ia tersenyum simpul ke arahku. Setelah itu, ia kembali menangis. Hatiku sakit melihatnya.

Beberapa saat setelahnya, ia dan Tania terlihat membereskan barang bawaan mereka dan beranjak dari tempat itu. Dream Catcher yang kuberikan ia bawa tanpa dimasukkan ke dalam tas. Aku bingung. Apa dia tidak suka? Biasanya semua barang yang kuberikan selalu dimasukkannya ke dalam tas dengan senyuman indah di wajahnya. Dengan kebingungan yang hebat, aku pun beranjak dari tempatku dan mencoba untuk mengikuti mereka.

Mereka berdua berjalan cukup jauh. Aku berjalan perlahan tapi pasti agar mereka tidak sadar. Aku bukan stalker, tapi melihatnya menangis membuatku penasaran. Untungnya banyak orang berlalu-lalang sehingga mereka tidak mencurigaiku sebagai seorang penguntit yang akan membahayakan mereka.

Setelah beberapa menit, mereka pun sampai di suatu pemakaman umum. Mereka masuk ke dalam dan aku mengikuti mereka.

Hanya beberapa langkah dari luar, mereka akhirnya terdiam di suatu makam yang terlihat baru. Aku ingin mendekat, tetapi aku takut jika mereka akan menyadari keberadaanku.

Ia menangis dan mengucapkan sesuatu. Dream Catcher yang kuberikan ia letakkan di makam itu.

Oh, Tuhan. Aku ingin sekali mendekatinya, membelai rambutnya, dan memeluknya. Aku ingin menenangkannya. Hatiku sangat sakit.

Aku ingin mengatakan padanya bahwa percuma menangisi kepergian seseorang. Aku ingin mengatakan bahwa ini bukan salahnya.

Karena jika dia terus menangis seperti itu,

Aku tidak dapat beristirahat dengan tenang.

★✩★

Plot Twist?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang