"Aku yakin, siapapun kamu nanti. Kamu adalah penolong bagiku, seorang musafir yang merindukan Jannah."
...
Ah, aku membuang napas beratku.
Entah kenapa murid-murid hari ini sangat rewel, dan tidak sabaran. Tanganku hanya dua, tapi mereka sama sekali tidak perduli dan ingin aku cepat-cepat memperhatikan mereka masing-masing.
Astaghfirullahaladzim...
Menurutku, ini adalah kalimat istighfar yang ke dua ratus yang sudah aku batin. Semoga Rabbku selalu menjaga keteguhan hatiku untuk berladang pahala. Aku harap hanya hari ini saja mereka seperti ini, besok dan seterusnya semoga tidak lagi menguras kerja otakku. Aamiin.
"Bu guru, kaki Miro berdarah." Ucap salah satu muridku yang terlihat cemas, ia berlari ke arahku. Aku melihat beberapa temannya yang lain berlarian ke luar kelas. Jelas membuatku segera bangkit dan mengikuti mereka di belakang.
Ia menunjuk salah seorang temannya yang tengah menangis tersedu sambil memegangi kakinya yang tampak berdarah, segera aku menggendong murid yang bernama Miro itu ke ruang UKS.
Aku menidurkannya di atas kasur UKS, dia masih meringis kesakitan. Berulang kali aku menenangkannya dengan sesekali kutiupi luka yang berdarah itu. Beberapa temannya mengintip dari balik jendela UKS, ruangan ini sengaja aku tutup agar Miro lebih tenang dan bisa beralih dari ringisannya.
"Sakit bu guru." Keluhnya yang berhasil membuat mataku berkaca-kaca. Anak ini sangat nakal, tapi selalu membuatku simpatik.
"Bu guru antar pulang saja ya?" aku selesai membersihkan lukanya, juga sudah ku plesterkan sebuah hansaplas. Responnya masih sama, masih menangis kesakitan. Wajahnya sangat merah dan berkeringat, dia juga meneteskan banyak air mata.
Dia mengangguk pelan. Segera aku menggendongnya dan mengantarkannya pulang.
Miro adalah murid paling jail dan nakal di Taman Kanak-kanak tempatku mengajar. Setiap hari yang dilakukannya selalu merugikan bagi teman-teman yang lain.
Aku sampai kasihan dengan neneknya yang kerap kali mendapat teguran dari kepala sekolah, akibat kenakalan cucunya ini.
Meskipun begitu, aku juga kasihan dengan anak ini, ibunya sudah meninggal sewaktu melahirkannya, sedangkan ayahnya pergi merantau ke Maluku yang hanya pulang sekali dalam setahun, saat hari raya idul fitri.
Sejak ibunya meninggal, Miro diasuh oleh neneknya karena ayahnya harus kembali bekerja. Sedangkan Nenek Miro juga memiliki pekerjaan, yaitu bekerja sebagai asisten rumah tangga di salah satu villa yang ada di desaku.
"Bu guru, Miro takut nanti nenek marah." Ucapnya lirih dalam gendonganku.
Aku memilih berjalan kaki dengan menggendongnya karna jarak sekolah dengan rumahnya cukup dekat.
Aku memeluknya perlahan, ingin sekali air mata ini kubiarkan jatuh.
"Pokoknya nanti Miro gak boleh nangis di depan nenek, harus selalu senyum." Aku menekan hidungnya pelan, yang berhasil membuatnya tersenyum sangat lucu.
Aha,anak ini sangat manis dan menggemaskan.
Jalanan menuju rumah Miro tidak ada satupun rumah yang aku lewati, semuanya berupa sawah-sawah yang sebentar lagi akan panen. Semua tanamannya kebanyakan padi dan jagung, ada juga beberapa kacang-kacangan yang ditanam melilit di pagar kayu.
Ini adalah kabupaten Trenggalek, tepatnya di kecamatan Tugu. Penduduknya masih sangat sederhana jika dibandingkan dengan kota Surabaya, pabrik-pabrik juga belum mendominasi kota ini. Itu sebabnya banyak warganya yang merantau ke beberapa pulau besar, seperti Papua, Kalimantan, Bali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Subuh [Tahap Revisi, Lebih Baik Jangan Dibaca Dulu Hehehe]
SpiritualMaaf sempat membuatmu menunggu. Waktu bukan lagi masalahnya, tapi hanya sebuah rasa tidak percaya dirilah penyebabnya. Kini waktunya untukku mempertanggung jawabkan segalanya. Perkenankan aku, menuntunmu menjadi yang kuharap sesuai kehendak Sang Pen...