7. Wajah Itu

812 64 9
                                    

'Menakutkan sekali saat Allah azza wajalla menutupi salahmu, namun dengan bangga kamu membukanya di hadapan makhlukNya.'

...

Tidak terasa, bulan ramadhan telah memasuki minggu kedua. Pernikahanku dan Mas Arhim sudah semakin dekat, tiga minggu lagi dari sekarang. Terhitung sejak acara lamaran dua bulan yang lalu, aku jadi semakin sibuk dan repot.

Memang, aku menikah di bulan Syawal, bulan diantara dua 'eid. Beberapa orang menganggap bahwa menikah di bulan Syawal akan berujung perceraian dan kesialan. Namun, Rasulullah membantahnya dengan menikahi Aisyah r.a pada bulan Syawal tahun ke sepuluh kenabiannya, tiga tahun setelah wafatnya Khadijah.

Meskipun aku sudah berpesan pada Mas Arhim, bahwa aku ingin pernikahan yang sangat sederhana saja, Mas Arhim mengabaikannya. Dia tidak mau memberikan kesan biasa saja pada pernikahan kami, katanya sekali seumur hidup. Jadi yaa antara aku maupun mas Arhim sama-sama selalu disibukkan oleh tugas masing-masing. Aku hanya mengurus soal dekorasi rumah maupun gedung, sementara Mas Arhim mengurus sisanya.

     Ibu maupun Ayah jadi sering mengomeliku, saat aku masih saja gerasak-gerusuk, masih sering manja dengan mereka, juga masih ingin tidur di pangkuan Ibu dan Ayah.

     Tak terasa waktu berlalu sangat cepat, tiba waktuku meninggalkan mereka untuk melengkapi imanku dan bertemu imamku. Ah, aku jadi sering terharu sekarang.

     Bisa dipastikan bahwa saat sudah menikah nanti, aku berhenti mengajar. Karna Mas Arhim bilang, kami berdua akan tinggal di rumah Ummi dan Abi. Tinggal di kota, jauh dari keluargaku.

     Tapi aku sudah bicara dengan Mas Arhim, sesekali aku ingin menjenguk Ayah, Ibu, dan juga kampung halaman saat sudah menikah nanti. Dan Mas Arhim menyetujuinya.

     Kami tidak bisa tinggal di desa, karna Mas Arhim bekerja untuk perusahaannya di kota. Dan aku, aku wajib selalu berada dimanapun dia tinggal.

     Ah yaa, aku ingin sedikit membahas tentang Naufal. Sudah lebih dari satu bulan ini, dia tidak pulang ke rumahnya. Arin bilang, Naufal menyewa apartemen dekat tempat kerjanya. Karna dia merasa lelah kalau harus pulang-pergi desa-kota.

     Naufal juga jarang memberiku kabar, sampai aku belum bicara padanya tentang rencana pernikahanku. Mungkin dia sedang sibuk-sibuknya bekerja. Aku bisa memaklumi.

     Naufal, sahabatku. Kalau kamu baca ini, aku pertegas baik-baik yaa. Bahwa saat ini aku sudah bisa menganggapmu hanya sebatas sahabat, aku bisa mengontrol perasaanku setelah bertahun-tahun. Terima kasih untuk pertemanan ini :).

     Sebentar lagi aku harus benar-benar bisa menghapus perasaanku pada Naufal, karna setelahnya aku akan bahagia bersama Mas Arhim. Aku tidak berharap banyak, semoga Naufal tidak akan pernah tahu tentang perasaanku selama ini padanya. Supaya aku, maupun dia bisa terus berteman baik sampai kapanpun.

     "Shah, dua bulan yang lalu setelah acara lamaran kamu, aku bilang sama Naufal. Kalau lamarannya udah diterima sama Ayah kamu. Setelahnya, dia langsung matiin telefon gitu aja. Kayak aneh gitu." Arin membuka pembicaraan di antara kami.

    Kami sedang sibuk melihat-lihat gambar dekorasi pernikahanku di laptop Mas Arhim. Mas Arhim tidak disini, dia bekerja dan menitipkan laptopnya untuk aku melihat apa saja perlengkapan yang sudah ia siapkan.

     "Jadi Naufal udah tahu dari dua bulan yang lalu?" Arin mengangguk.

     "Aku juga ngerasa aneh gitu, Rin. Dua bulan ini tuh dia berubah banget, jadi gak pernah main ke rumah. Bahkan dia juga gak pernah kirim pesan apapun ke aku. Dan sekarang dia malah gak pulang ke rumah." Aku menatap Arin bingung, sedikit berpikir keras.

Assalamualaikum Subuh [Tahap Revisi, Lebih Baik Jangan Dibaca Dulu Hehehe]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang