Kita seperti Nabi Adam dan ibu Hawa. Akulah si Adam yang selalu merindukanmu dan kau si Hawa yang selalu menjadi objeknya.
...
Hujan turun sangat lebat saat aku sedang berjamaah subuh di Masjid.
Setelah menunaikan sholat subuh, semua orang termasuk aku memilih untuk tinggal di Masjid sejenak. Menunggu hujan reda. Tidak banyak orang, mungkin hanya sekitar kurang dari lima belas termasuk anak-anak.Entah kenapa, tumben sekali hujan turun saat subuh. Aku jarang melihatnya. Tapi aku sangat senang, aku suka hujan saat petang. Hawanya mendamaikan, dan suaranya menyejukkan. Belum lagi saat tersentuh kulit, asli menambah semangatku.
Seperti biasa, aku memilih untuk melihat-lihat buku yang ada di rak Masjid. Mataku mengabsen satu persatu judul buku yang ada. Ada satu buku yang membuatku tertarik, judulnya ’77 Cahaya Cinta Madinah’ Karya Ummu Rumaisha. Sekitar ada limabelas daftar judul bab dalam buku itu. Aku membaca bab yang berjudul ‘Cinta Suci Abu Al-Ash Bin Rabi’ r.a dan Zainab r.a’
Zainab adalah putri Rasulullah SAW. Dia menikah dengan Abu Al-Ash, putra dari Halah binti Khuwalid saudara perempuan Khadijah binti Khuwalid r.a . Islam memisahkan Zainab dan Abu Al-Ash.
Namun cinta dalam hati mereka tetap tersimpan dan tak tergantikan oleh siapapun.“Bahkan setelah enam tahun terpisah, mereka tetap mempertahankan cinta masing-masing. Sampai akhirnya Allah kembali mengizinkan mereka bersatu.” Ucapku pada diri sendiri, mencoba memahami apa isi buku yang barusaja kubaca. Kisah cinta ini adalah salah satu kisah favoritku, jalan ceritanya sering ditampilkan di novel-novel dan berbagai cerpen, yang kebanyakan bergenre spiritual. Keduanya sangat tulus terhadap islam dan ajarannya.
“Cinta memang tidak harus memiliki. Tetapi, bila sudah jodoh pasti akan kembali. Definisi cinta yang indah dan pasti menghalalkan, karna melalui takdir dan ridho Allah azza wajalla.” Seseorang dari arah belakang menyahuti ucapanku. Sontak membuatku menoleh pada sumber suara.
“Mas?” Aku tersenyum sumringah. Orang yang beberapa kali datang saat aku membutuhkan bantuan. Aku mendeskripsikan Mas ini seperti itu.
“Kita selalu bertemu saat sholat subuh.” Ucapnya yang hanya ku angguki. Jarak kita cukup jauh untuk dua orang yang sedang mengobrol, tapi kita cukup jelas mendengar ucapan masing-masing.
“Hujannya sudah reda, lebih baik mbak segera pulang. Sebelum nambah lebat lagi, saya yakin mbak gak bawa payung.” lanjutnya dengan ramah dan lembut.
“Oh iya, terimakasih. Saya pamit, assalamualaikum.” Setelahnya aku berlalu.
“Waalaikumsalam Warahmatullahiwabarakatuh.” Suaranya terdengar sangat pelan dari posisiku yang tengah berjalan menuju pintu keluar Masjid.
"Kalo kita bertemu lagi, saya janji akan mengajak mbak kenalan." Ucapnya sedikit berteriak. Aku menoleh ke arahnya, lalu mengangguk.
Entah kenapa setelah hari itu aku benar-benar berharap untuk bertemu dengannya lagi, aku sangat ingin mengenalnya. Rasa-rasanya dia orang yang baik dan sopan, kalau dilihat dari beberapa pertemuan kami yang tidak disengaja. Berangkat ke masjid paling awal jadi kebiasaan supaya bertemu dengannya.
Entah kenapa setelah hari itu juga, aku tidak pernah melihatnya lagi, dimanapun. Dia ada kalo tidak dicari, dia hilang kalo dicari. Mungkin ini yang namanya bukan jodoh. Astaghfirullahaladzim...
---
Hari libur sekolah telah tiba, keseharianku di rumah hanyalah membantu ibu mengerjakan tugas rumah. Kadang aku juga menengok Miro di rumahnya, anak itu selalu membuatku rindu. Kadang neneknya menitipkan Miro di rumahku, karna ia harus bekerja. Ibu dan ayahku sangat senang jika Miro sering bermain ke rumah, aku pun juga jangan ditanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Subuh [Tahap Revisi, Lebih Baik Jangan Dibaca Dulu Hehehe]
SpiritualitéMaaf sempat membuatmu menunggu. Waktu bukan lagi masalahnya, tapi hanya sebuah rasa tidak percaya dirilah penyebabnya. Kini waktunya untukku mempertanggung jawabkan segalanya. Perkenankan aku, menuntunmu menjadi yang kuharap sesuai kehendak Sang Pen...