Keesokan paginya, Ulis benar-benar ingin memastikan sesuatu yang dilihatnya semalam di dalam sumur. Ulis memutuskan untuk melakukannya setelah sholat Subuh berjamaah dengan ibunya. Selesai sholat, Ulis melipat mukenanya dengan cepat selesai berdoa tanpa membaca Quran seperti yang lebih sering dilakukannya.
Ulis berdiri di tepi sumur. Matanya yang sayu, redup berusaha focus untuk memastikan apa yang dilihatnya. Benar. Sepertinya itu tikus. Kalok kucing lebih besar, tapi bisa jugakan itu kucing kecil. Tikus. Ekornya.
" Wes, ndang mandi." Ulis kaget bukan karena kehadiran ibunya yang mendadak. Tapi karena panci yang berisi beras yang dibawa ibunya.
" Lo....Ibuk kok nyuci beras di sini?"
" Mau nyuci dimana." Ibunya mulai menurunkan timba." Ambilkan ceret." Perut Ulis tiba-tiba terasa mual. Dengan lemas, Ulis melangkah mengambil ceret seperti yang diperintahkan ibunya." Mandi."
Ingin rasanya Ulis tidak menggosok gigi mandi pagi itu. Ulis punya ide untuk numpang mandi di rumah Weni yang berada di sebelahnya. Tapi Ulis sudah tahu jawaban ibunya. Akhirnya Ulis memilih untuk membasuh tubuhnya dengan menggunakan sesedikit mungkin air yang diyakini Ulis sudah bercampur dengan mayat tikus yang entah sejak kapan berada di dalam sumur. Ulis mengambil pasta gigi dan sikat giginya. Disembunyikannya di dalam saku seragam sekolah Ulis. Ulis tidak mau memasukkan air yang bercampur dengan jenazah tikus ke dalam mulutnya. Dan ibunya tidak perlu mengetahui hal itu. Gosok gigi di sekolah, begitu rencana Ulis.
Tiba saatnya sarapan. Lauk rutin adalah mie instant dan telur. Ibunya tidak suka bertemu dengan banyak orang. Jadi, ibunya hanya sekali waktu pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan. Ketika ibunya keluar ke pasar itulah Ulis baru akan merasakan masakan nikmat ibunya. Nikmat bukan karena berlauk daging, tapi berlauk tempe, tahu, ikan lengkap dengan sayurnya, menjadikan makanan gersang tiba-tiba berubah menjadi berwarna indah. Namun, pagi ini tidak hanya lauk pauknya yang gersang, hati Ulis juga bergidik ketika ibunya menyuruhnya makan.
" Ayo, makan. Kok ndak dimakan-makan!" Ulis diam. Mengerjapkan mata seperti biasa." MAKAN. Knapa! Jijik sama tikusnya! Wong cuman tikus mati! Makan."
" Tak bawak ke sekolah aja, buk. Dimakan di sana."
" Trus dibuang! Awas kalok dibuang!" Mata Ulis mengerjap. Rencananya ketahuan." Makan sini. Yang separuh bawak sekolah!" Ibunya mengambilkan kotak bekal Ulis yang terlihat sangat terawat.
Ulis memilih diam. Setelah selesai membagi bekal, Ibunya menemukan Ulis masih diam. Tidak menyentuh sedikitpun air teh atau piring sarapannya. Mata keduanya bertemu. Ulis melihat mata setan dalam mata ibunya. Ulis bisa menebak apa yang akan terjadi, namun tetap saja Ulis dibuat kaget oleh langkah berikutnya.
Ibunya mengambil nasi dan mie secara bergantian, kemudian meratakannya ke wajah Ulis berkali-kali. Kepala Ulis terhuyung-huyung ke belakang. Belum puas dengan aksinya, ibunya mengambil piring yang isinya sudah pindah berceceran di tubuh Ulis. Ulis meraskan ada sesuatu menghantam kepalanya. Sekali, dua kali, tiga kali. Ulis mulai merasakan pengelihatannya kabur, matanya mendadak gelap.
Belum sempat Ulis menikmati masa-masa pingsannya, Ulis meraskan tubuhnya diseret dengan keras. Tubuhnya ditelanjangi. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Ibunya segera menurunkan timba untuk mengambil air segar dari dalam sumur untuk dinikmati Ulis. Ulis tidak mau menelannya. Tenggorokannya memberontak. Ulis terbatuk-batuk. Habis sudah air satu timba. Puas sudah ibunya memberi pelajaran pada anak semata wayangnya.
" Ganti. Sekolah. Dimakan di sekolah." Selesai. Seolah tak terjadi apa-apa.
Tenggrokan Ulis terasa panas dan kering. Sementara bagian hidung Ulis terasa panas. Semakin panas karena Ulis membayangkan begitu menjijikkannya air yang masuk ke dalam hidungnya. Belum hilang sakit yang kemarin, pagi ini sudah bertambah. Ulis merasa semakin sulit bernafas.

KAMU SEDANG MEMBACA
ulis saidah
General Fictionsemua tulisan yang dibuat tahin 2008 dipublikasikan untuk umum untuk mencapai kenikmatan karya berupa punya pembaca.tanpa diedit lagi