five

12 0 0
                                    

Senin pagi, Ulis berangkat sekolah seperti biasa, yang berbeda hanya satu. Ibunya tidak menawarkan sarapan pagi di hari pertamanya masuk sekolah. Ulis tidak peduli. Tidak ada lagi hal yang perlu diperdulikan setelah semalam. Hidup hanya harus dijalani. Hal terburuk sudah dialami. Tidak hanya sekali. Dan itu tidak membuat dirinya mati. Seseorang mati bukan karena hal buruk yang terjdai padanya, tapi karena memang sudah waktunya mati. Kalo Allah bilang mati, mati. Hal buruk bukan sesuatu yang tidak bisa dihadapi. Hidup mampu berjalan meski setiap hari kemalangan demi kemalangan terjadi. Yang harus hadapi, dihadapi. Tidak ada alasan untuk peduli. Ulis mencium tangan ibunya yang sedang asyik mencuci baju.

" Brangkat. Asssalammualaikum." Ulis berlalu begitu saja. Tidak peduli dengan sarapan pagi. Tidak peduli dengan uang saku. Ulis terus berjalan.

" Uang sakunya."

Ulis berhenti. Rezeki tak boleh ditolak. Perlawanan tak boleh sengit. Wanita itu masih ibunya. Ulis tidak ingin menyakiti ibunya. Ulis memandang mata ibunya ketika mengambil uang saku yang diulurkan ibunya. Ulis tidak menemukan apa-apa di mata ibunya. Mata Ulis terlalu kosong untuk bisa menemukan sebuah rasa dalam bola mata orang yang tak memiliki rasa. Ulis berlalu.

Ulis merencanakan pagi yang ceria bersama Mira. Ulis baru sadar kalau Mira adalah anak yang baik. Air matanya membuat mata Ulis buta, tidak melihat yang sebenarnya. Nandita membuatnya teringat dengan Mira. Mira membuatnya teringat dengan Nandita. Sama-sama berkulit coklat gelap dengan begitu banyak bulu di tangan mereka. Berwajah lebar, bermata kecil, berambut lurus indah, bibir mungil tipis dengan suara menyenangkan didengar.

Ulis memasuki kelas barunya dengan tenang. Biasanya setiap kali memasuki kelas baru, Ulis selalu dihinggapi takut, bingung, tidak pasti. Tentang banyak hal. Termasuk duduk dimana, dengan siapa. Kali ini Ulis tidak meraskan semua itu. Kali ini Ulis tahu dimana dia akan duduk, dengan siapa dia duduk.

Ulis memlih tempat duduk dideretan paling depan dekat pintu masuk. Persis seperti di kelas sebelumnya. Bedanya, dulu Ulis duduk di depan karena tidak ada yang mau duduk dengannya. Sekarang, duduk di depan adalah pilihannya sendiri. Dulu Mira yang menawrkan diri menjadi teman sebangkunya. Sekarang, Ulis yang akan menawarkan diri untuk duduk bersama Mira. Ulis duduk di bangkunya, menunggu kedatangan Mira. Jika beruntung pagi ini Mira akan datang lebih awal. Jika tidak Mira akan datang tak lama sebelum bel berbunyi. Ulis beruntung, Mira datang lebih awal.

"UUULLISSS! Kangen aku! Dua minggu ndak ketemu!" Mira yang berkulit coklat gelap seperti Nandita sumringah menemukan teman sebangkunya sudah duduk manis di bangku depan tepat seperti yang diinginkan Mira.

" Sampeyan mau duduk mana, Mir?"

" Sampeyan mau ndak duduk sama aku?" Ulis tersenyum mengangguk gembira." Sampeyan duduk sini apa situ?"

" Aku situ aja, ya, Lis. Sampeyan pinggir saja." Ulis segera menggeser kakinya mempersilahkan Mira menuju tempat duduknya yang rapat dengan tembok.

" Ini buat sampeyan!"

" Apa ini, Lis! Lucu sekali!" Mira menerima sebuah boneka Teddy Bear putih indah yang disodorkan Ulis.

" Itu dari Malang. Liburan kemarin aku ke rumah pakdeku."

" Jangan, Lis. Itukan dikasih sama pakde."

" Bukan. Saudaraku. Ndak pa-pa." Tidak ada penghargaan terbaik untuk kebaikan terbaik yaitu ketulusan yang akan dibayar dengan ketulusan." Ini aku masih punya macem-macem. Sampeyan mau yang mana?"

" Lis, jangan! Nantik dimarahi ibuk sampeyen, lo." Mira benar-benar ragu.

" Ndak apa-apa. Ibuk ndak apa-apa. Itu punyakku. Ambil ya."

ulis saidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang