four

4 0 0
                                    

Menjelang ujian akhir semester, Ulis menambah jam belajarnya. Weni yang pelupa dan pemalas, diharuskan ibunya untuk bisa meraih juara satu. Ulis yang merasa dirinya lebih rajin dari Weni, tapi tidak disuruh meraih apa-apa oleh ibunya, merasa seharusnya bisa meraih juara satu di kelasnya. Setidaknya lima besar, baru kali ini Ulis merasa harus meraih sesuatu.

Ketika hari-hari ujian akhir datang, Ulis ingin sekali memprotes sebagian besar guru-gurunya yang menyuruh murid-muridnya saling mengoreksi hasil ujian mereka. Setelah itu, sang guru akan memanggil nama-nama murid sesuai dengan nomer absen untuk memasukkan nilai. Mira, Ulis dan sebagian besar teman-teman Ulis tidak terfikir untuk mencari lembar jawaban ujian milik mereka yang sedang dikoreksi temannya, kemudian menghapus jawaban salah dan menggantinya dengan jawaban benar.

Vina, Kurnia dan kelompoknya terfikirkan hal seperti itu. Ulis, Mira dan teman-teman yang lain hanya bisa mengerjapakan mata. Mereka tidak berdaya. Itulah penyebab kenapa Ulis berada jauh dari peringkat yang diraih Vina, Kurnia dan kelompoknya. Hal ini tidak hanya terjadi ketika ujian akhir saja, tapi juga terjadi ketika ulangan harian. Ulis heran kenapa guru-gurunya tidak mengoreksi sendiri. Memastikan semua mendapatkan nilai secara adil. Seperti tangannya yang disembukan dengan adil oleh Allah, pikir Ulis.

Semua kecewa Ulis terhadap guru-gurunya dan Kurnia cs tergantikan dengan perasaan bahagia ketika Ulis pulang sekolah di hari terakhir ujian, Ulis menemukan pakde Tono sedang duduk bersama ibunya di ruang tv.

Ulis mengucapkan salam dan mencium tangan pakdenya penuh semangat. Ulis sumringah melihat wajah ibunya yang tak seperti biasanya. Tidak menyeramkan, diam dan bertegangan tinggi. Ibunya benar-benar berbeda. Di sisi lain, Ulis tidak menyukai hal itu. Karena semua itu hanyalah kebohongan. Penipuan. Seandainya wajah berseri-seri, mata bersinar penuh semangat itu adalah keseharian, harap Ulis.

" Pakde, datang mau jemput sampeyan, nduk. Tadi pakde ijin karo ibune sampeyan. Boleh kan dek Yun, Ulis liburan di rumah mas."

" Ya, boleh, mas Ton. Kasihan Ulis kalok ndak boleh. Liburan ndak ada apa-apa di rumah. Di sanakan ada anak-anaknya mas Ton."

" Ya. Bagus kalok gitu. Ayo, Lis, siap-siap. Ndang brangkat. Biar minggu istirahat dulu. Senin baru jalan-jalan."

Ulis mengangguk penuh semangat. Ulis tahu ibunya tidak akan berdiri dan membantunya untuk bersiap. Ulis hafal kalimat yang akan diucapkan ibunya, biar mandiri. Wong sudah besar. Setiap tahun kalimat itu diucapkan oleh ibunya sejak Ulis kelas 1 SD ketika salah seorang paman atau bibinya menjemput Ulis untuk menikmati saat-saat kebersamaan yang hanya terjadi setahun sekali. Ulis juga hafal setiap kali pulang dari berlibur dari rumah salah seorang kerabat ibunya, ibunya akan mengancam untuk tidak memberikan ijin berlibur lagi, ke rumah siapapun, karena telah membiarkan ibunya sendirian di rumah sepinya berhari-hari,sementara Ulis menikmati kebahagiaan.

Ibu memang merasa tidak perlu khawatir dengan kegiatan berkemas Ulis. Semua baju, termasuk pakain dalam Ulis nampak tidak hanya bersih terawat, tapi juga nampak baru. Pakaian manapun yang akan Ulis bawa, tidak ada masalah. Tidak akan memalukan.

Ketika berpamitan, Ulis tidak berani menunjukkan semangat yang menggebu. Ulis berusaha menyembunyikan semua itu. Tentu saja, Ulis hanya gadis kecil yang baru beranjak dari usia 8 tahun. Ulis tidak pandai menyembunyikan kemenggebuannya dengan sempurna. Ulis menangkap kilatan mengerikan di mata ibunya selama sepersekian detik. Kilatan setan.

Kengerian Ulis buyar begitu Ulis melangkah keluar dari rumahnya. Perjalanan yang menyenangkan. Bagaimana tidak. Pamannya menawarkan apapun yang terlihat selama perjalanan mereka menuju kota Malang dengan menggunakan jasa trasportasi bus. Ulis tidak menginginkan semua makanan atau barang apapun yang ditawarkan oleh para pedagang. Ulis berbunga karena merasa diperhatikan. Bunga-bunga kehidupan mulai muncul. Kulit wajahnya yang kuyu, kering dan keriput mulai terlihat segar.

ulis saidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang