Kata-kata

84 10 4
                                    

Diperjalanan pulang, aku bertemu dengan Jaki. Entah disengaja atau tidak, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Berharap tidak melihatku, yang jelas aku sangat menyadarinya. Nadia hanya melirik-lirikan matanya dari pertama melihat Jaki keluar parkiran sekolah sampai sengaja menyenggol-nyenggol  pundakku.

"JULI!!" Bentak Nadia kesekian yang menyadarkanku dari lamunan yang membingungkan itu. Ia mulai kesal dengan sikapku yang bisa dikatakan selalu sedih saat bertemu dengan Jaki atau bahkan mendengar namanya.

Hingga aku gelagapan di hadapan Nadia atas hal tersebut, Jaki telah melesat bersama motornya dengan seorang gadis yang diboncenginya.

"Eh, ayo kita pulang?" Tanyaku setelah yakin Jaki telah menghilang di pertigaan jalan Ampera yang telah ramai di padati para pengendara sepeda motor yang sebagian dari mereka adalah para pelajar.

Selama beberapa menit aku diam dan terus melangkah, Nadia pun demikian, yang sepertinya ia akan mengatakan sesuatu padaku. Ditepuknya pundakku pelan, kulihat wajahnya. Ia mengatakan. "Apakah kamu akan terus seperti ini? Apakah kamu hanya diam seperti itu setelah semua yang telah terjadi? Apakah kamu hanya meminta penjelasan di saat Dia enggan berbicara denganmu? Satu minggu sudahlah cukup untuk bersedih, bahkan waktu yang terlalu lama bagi sebagian orang untuk terus meratapinya."
Kutundukan pandanganku lebih ke bawah dari sebelumnya. Tanpa aba-aba, mataku telah mengeluarkan butir-butir air yang terus aku tahan alirannya.

Sesaat kemudian setelah Nadia menyadari bahwa aku menangis, ia mendampingiku menuju kursi terdekat di jalanan Ampera ini.

***

Aku menulis, terus menulis, hingga teriak kakakku mulai kesal akan panggilannya beberapa kali, yang terus aku hiraukan. Ia memintaku agar segera menghampirinya untuk makan malam bersama.

Kusimpan kacamataku di atas meja belajar. Ku rapihkan alat-alat. Ku pungut sampah-sampah kertas yang telah aku remukkan dengan tanganku.
"Iya, sekarang." Teriakku seraya membuka pintu kamar.

"Liburan kali ini, kamu ingin kemana?" Tanya kakakku disela-sela menyantap makanan buatannya.
"Di rumah. Nulis." Jawabku sambil mengunyah makanan hingga hampir tersedak.
"Kalo makan pelan-pelan." Tegur kakakku.
"Ka, Juli ke kamar dulu." Pintaku setelah selesai menyantap makanan lalu hendak menuju kamar.
"Emangnya, kamu belum selesai membuat ceritanya?" Tanya kakakku.
"Belum." Jawabku sedikit ketus.
"E... Eh, yaudah beresin dulu piring gelasnya. Sekalian yang kakak juga.  Kakak mau buat proposal dulu." Ucap kakakku tersenyum yang langsung dilangkahkan kakinya menuju meja belajar di kamarnya.
'Proposal? Untuk apa? Dan kepada siapa? Ah entahlah, nanti juga aku bakal tahu.' Batinku.

***

Di pagi yang terbilang sudah mendekati tanggal masuk sekolah, aku terus menguap. Aku terlalu memaksakan diri untuk menulis. Memang hobiku, tapi jika terus begadang, tubuhku akan protes nantinya.
Kulangkahkan kaki menuju meja belajar, ku lihat hasil ceritaku. Dan setetes air pun jatuh mengenai pipiku. Tanpa menunggu aba-aba, aku langsung berteriak.
"Kak! Atap kamarku bocor." Kepada kakakku di ruangan sebelah, ia membalas teriakan ku. "Sama. Sama kakak juga."
Setelah membersihkan genangan air yang tidak begitu banyak dari atap yang bocor, aku bergegas mandi lantas sarapan bersama kakakku.

Saat langkah kakiku hendak menuju kamar mandi, handphone ku berdering dan langsung kuangkat gerangan siapa yang menghubungiku pagi-pagi ini.

Nadia? Seketika aku langsung teringat kata-kata yang ia keluarkan saat dua minggu yang lalu- saat pulang sekolah, Nadia melihatku bersedih dan mengajakku duduk di tepian jalan.

Semua kata-katanya terus terngiang di tubuhku. Bukan otak yang memerintahkanku untuk mengingat kata-kata itu, melainkan hati yang yang selama ini terluka karenanya. Yang karenanya aku menulis beberapa kisah yang dulu pernah kita lalui. Yang sekarang kita jalani. Dan Nadia menasehati hingga terbangunnya aku dari keterpurukan ini.

***


Terimakasih kepada teman yang hingga saat ini masih menyimpan cerita dari seorang amatiran seperti Saya ini. Bukan untuk merendahkan diri saya, melainkan memang itulah saya. Dan sabarlah menunggu sesuatu yang baik. Maka kebaikan itu akan mengejutkanmu. Sama halnya dengan keterlambatan update ini, karena harus menunggu cerita ini, saya bersyukur atas dukungan yang tak nampak ini. Nantikan kelanjutannya. Jangan kemana-mana, eh ralat. Boleh kok kemana-mana yang penting itu mengarah kepada hal yang positif. Sekian.

29-03-2018

Untuk Sebuah Lembaran LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang