Penjelasan

35 6 9
                                    

Sesampainya di rumah, aku langsung bersiap-siap dengan kakakku yang sudah menungguku sepuluh menit lalu.
"Kak! Aku mandi jangan?" Tanyaku hampir berteriak dalam kamar.
"Mandi!" Terdengar balasan jengkel kakakku dari arah dapur. Huff aku harus cepat.

Sekitar setengah jam, kami sampai di rumah sakit tempat Nadia di rawat inap. Ku bergegas menuju kamar dengan nomor 26 di lantai empat, yang sebelumnya kakakku bertanya kepada staf administrasi di lantai satu. Di lift, aku terus menatap layar ponsel. Dengan kakakku yang terkadang menatap jengkel sekiranya baru naik satu lantai dan beberapa orang masuk yang membuat sesak dan pastinya sulit untuk keluar. Lantai empat pun telah kami pijaki. Setelah sebelumnya berdesakkan kami berusaha keluar dari lift dengan posisi kami di belakang dari pintu lift. Ku geser pintu kamar Nadia. Terlihat Abah dan Ummi duduk di salah satu sofa di kanan samping ranjang Nadia. Dengan hadirnya kakakku, Ummi langsung memeluk. Aku lantas berjalan menuju ranjang tempat Nadia kini sedang memainkan handphonenya lantas berhenti sejenak sejak kedatangan kami.

Terdengar percakapan kakakku dengan Abah dan Ummi. Lantas aku menarik kursi kecil di samping ranjang dan mendudukinya. "Nad, bagaimana keadaanmu? Apa kamu merasa lebih baik?" Tanyaku khawatir.
"Aku mendingan Jul. Makasih kalian udah jenguk aku." ucapnya lemas.

Walau aku tahu Nadia pasti masih sangat syok, tapi ku kuatkan dia. Ku semangati dan menghiburnya.

"Teman-teman nungguin kabar kamu Nad. Sampai-sampai, pagi tadi, banyak pertanyaan dari mereka tentang kamu. Haduh, kujawab deh satu-satu," gurauku. "Tapi Nad, apa yang ingin kamu beritahu padaku?" Tanyaku yang kurasakan wajah Nadia langsung lebih pucat dari sebelumnya.

"Aku rasa di halaman rumah sakit lebih dari cukup untuk memberitahumu. Lihatlah, orang tuaku dan kakakmu sedang berbincang-bincang. Jika kuberitahu disini dan reaksimu tiba-tiba berubah atau lebih buruknya kamu teriak, kan nggak lucu." ucapnya dengan tersenyum yang amat dipaksakan.

Haduh, kenapa dengan Nadia? Apakah seserius itu? Atau sesuatu yang buruk akan terjadi? Tapi bukankah dengan tiba-tibanya Nadia mendapatkan penyakit ini, sudah lebih buruk? semua pertanyaan itu terus terpikirkan olehku. Yang tanpa disadari, Nadia tengah berbicara pada kedua orangtuanya.

"Abah, Ummi. Nadia sama Julia ingin ke halaman dulu sebentar. Mumpung Julia ada disini, aku ingin jalan-jalan. Kan Abah sama Ummi dari kemarin nggak ngajak jalan-jalan keluar, jadi Nadia ingin jalan-jalan sekarang." keluh Nadia yang langsung dijawab oleh Umminya.

"Nadia. Kamu istirahat aja. Ummi sama Abah terlalu khawatir jika kamu ada apa-apa lagi. Lagian, jika kamu sudah membaik, nanti dokter akan langsung memberi arahan untuk kemoterapi yang akan berlangsung sekiranya satu bulan, itu pun kalau kamu sudah benar-benar membaik sayang." jawab Ummi pelan penuh perhatian.

"Iya Nadia. Kalau semisalnya kamu ingin makanan yang selain dai rumah sakit, nanti Abah bawain. Kamu istirahat aja sayang."

Seketika ekspresi Nadia berubah sedih, kakakku langsung berbicara kemudian, "Ummi, sebenarnya bagus untuk kesehatan Nadia jika dibawa jalan-jalan atau sekedar melihat pemandangan sore. Itu berpengaruh dalam cepatnya kondisi Nadia agar terus membaik. Lagian, harusnya Mila datang lebih awal, banyak bercerita sama Ummi dan Abah. Tapi Mila malah datang terlambat." ucapnya dengan sedikit memelas.

Aduh kak, kak. batinku.

Dengan berbagai pertimbangan dan persyaratan untuk jangan terlalu lama, Nadia akhirnya diizinkan untuk jalan-jalan sebentar dengan menggunakan kursi roda di samping kiri ranjang.

"Siap Abah." ucapku lantas Abah dan Ummi membantu Nadia menduduki kursi roda.

***

Orang-orang di sekitar halaman kulihat masih berbincang-bincang dengan teman atau sanak keluarga. Mereka terkadang tertawa diselingi dengan senyuman bahagia. Sejauh mata memandang, hampir semua orang-orang disini bersama-sama dengan keluarnya masing-masing. Dan, pasien yang sama dengan Nadia di salah satu dari mereka terlihat baik-baik saja. Entahlah, seperti apa penyakit yang menimpa pasien-pasien itu. Sehingga seperti sesuatu yang buruk sudah biasa, dan dilewati dengan biasa pula. Namun berbeda dengan raut wajah Nadia yang kini masih tetap pucat, walau beberapa menit lalu dia tersenyum karena diizinkan untuk keluar dan tentunya sudah meminta izin kepada dokter yang bersangkutan dengan kondisi Nadia.

"Cewek yang sering bareng sama Jaki itu sebenarnya...," Terhenti ucapan Nadia saat aku melangkah menghadap tubuhnya.
"Sebenarnya?" lanjutku bingung.
"Tanti. Dia adalah  tunangan Jaki. Tapi Tanti pindah ke kota lain bersama ibunya." ucapnya menunggu reaksiku.
"Maksud kamu Nad? Aku masih bingung atas apa yang kamu katakan." ucapku terkejut mendengar hal itu.
"Tanti mempunyai penyakit yang lebih mematikan dari pada penyakit aku saat ini. Aku mengenalnya sejak Jaki berusaha menjauh dan dingin sama kamu. Tanti mengatakan bahwa dirinya terlalu egois untuk kembali sama Jaki yang dia tahu bahwa pada saat itu kamu dan Jaki sangat dekat dan ia pikir hubungan teman atau sahabat akan lebih dari sikap Jaki yang perhatian sama kamu. Dan karena keegoisannya itu, Jaki menderita harus meninggalkanmu."
"Nadia!"
"Tunggu aku selesaikan kalimatku Juli! Tapi yang membuat aku harus bercerita adalah bahwa sejak kecil sampai sekarang, Jaki menganggap Tanti sebagai adiknya sendiri. Ayah Tanti meninggal dunia saat bekerja di sebuah perusahaan swasta yang sedang melakukan sebuah proyek pembangunan. Jaki merasa kasihan. Dan ia harus menjaga Tanti selebihnya nasihat ibunya Tanti. Kamu sendiri tahu kan ayah Jaki memang sudah meninggal saat Jaki berusia sepuluh tahun. Itu sudah mencerminkan rasa kasihan Jaki terhadap Tanti. Bukan rasa sayang terhadap seseorang yang benar-benar disayangi."
"Tapi mengapa Jaki perhatian dan sewaktu-waktu, dia berkata cinta padaku?"
Saat kamu kelas sembilan di SMP, kamu terpuruk. Selama berhari-hari. Karena kepergian orangtuamu, dan Jaki kembali akan rasa itu. Namun berbeda dengan yang ia rasakan terhadap Tanti."
"Lalu apa yang harus aku lakukan Nad?" ucapku bergetar.
"Belum lama ini, Tanti mengatakan akan sisa hidupnya tidak akan lama lagi. Prediksi dokternya tentang penyakit Tanti terus menggerogoti tubuhnya. Dan sebelum hal itu terjadi, dia ingin meminta maaf sama kamu. Mangkanya, aku menghubungi kamu untuk hal ini, karena Tanti ingin bertemu denganmu."
"Tapi mengapa kamu baru cerita semua ini setelah aku berusaha membenci Jaki dan memaki-makinya dalam hati."
"Aku tahu seberapa cengengnya kamu jika ada sesuatu yang akan menyakiti hati kamu dan kamu pasti akan terpuruk. Apalagi masalah seperti ini."

"Lalu, penyakit apa yang diderita oleh Tanti itu?" tanyaku kemudian.
"HIV/AIDS Jul. Tanti mulai mendapatkan penyakit itu satu tahun lalu, saat dia dibawa ke rumah saint karena terus belajar sepanjang waktu dan akhirnya pingsan. Dibawalah Tanti oleh ibunya ke rumah sakit. Dan virus HIV itu masuk ke tubuh Tanti karena sebuah suntikan yang digunakan oleh seorang perawat baru yang menyuntikkan obat, tapi aku tidak tahu nama obat itu, yang jelas, suntikan itu sudah digunakan sebelumnya pada pasien yang mengidap HIV itu. Dan walau pihak rumah sakit terus membantu Tanti dan mengganti kerugian, tetap saja itu salah penyakit mematikan Jul."
"Jadi, aku yang salah Nad?" ucapku pucat.
"Nggak Juli. Kamu nggak salah. Ini sudah jalannya. Dan jika ada yang harus disalahkan, maka salahkan perawat baru itu. Tapi, yang aku tahu, perawat itu sudah diberhentikan oleh pihak rumah sakit Jul."
"Sudahlah Nad. Aku tidak ingin membahas semua ini. Dan aku tidak akan menemui Tanti atau siaplah namanya. Aku kesal. Aku merasa bersalah. Dan aku tidak  sanggup menatap wajah dia yang sering kali aku makin dalam hati. Harusnya aku khawatir akan keadaanmu. Tapi kubuat kesal. Maafkan aku Nad."

Tanpa menunggu jawaban dari Nadia, aku langsung melangkahkan kakiku menuju dorongan kursi roda lantas kembali ke kamar Nadia. Tetesan air mata jatuh tak tertahankan. Beberapa kali kuusapkan butiran-butiran air yang membasahi pipiku. Isak tangis amat pilu terdengar. Nadia ikut menangis. Yang terdengar jelas olehku. Karena hari mulai gelap, orang-orang yang berlalu-lalang sudah semakin sedikit. Kakakku menggeser pintu kamar lalu Abah dan Ummi tengah menunggu kami dengan cemas setelah aku usahakan untuk tidak terisak dan Nadia pun demikian.

***

13-05-2018

Untuk Sebuah Lembaran LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang