Bertemu

43 4 0
                                    

Sabtu pagi ini, aku putuskan untuk mempersiapkan diri. Bukan untuk berangkat ke sekolah dan di sekolahku menggunakan sistem full day. Aku mandi dan tak lupa sarapan. Aku harus bertemu dengan Jaki. Aku pikir dia akan menjelaskan semuanya. Ya. Dia memang harus menjelaskan semuanya.

Jam di dinding menunjukkan pukul 7.06. Yang berarti empat menit lagi, Jaki akan sampai. Semalam telah aku hubungi Jaki walau lama waktu ragu menyertai. Kuminta agar besok pagi bertemu. Ada hal penting yang harus aku sampaikan. Dia hanya membaca pesanku lantas satu jam kemudian, dia membalas dengan emoticon senyum. Sungguh!

Saat aku sudah siap akan penampilanku dihadapannya, dan siap untuk melihat wajahnya, pintu rumah diketuk oleh seseorang.

Huff. Aku hembuskan napas dalam. Aku sudah sangat siap menatap wajahnya, lagi.  Kulangkahkan kaki, kutarik daun pintu, dan kutundukkan kepalaku ke bawah. Entah apa yang aku pikirkan.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya.
Seketika, aku tahu siapa seseorang tersebut.
"Loh? Kok kakak balik lagi? Bukannya ada kuliah? tanyaku terkejut.
"Ada berkas yang tertinggal. Untungnya kakak ingat dan belum sampai kampus." Setelah menyelesaikan kalimatnya, ia lantas bergegas menuju kamarnya dan entah, berkas apa yang dia cari.
"Julia." ucap seseorang di depan gerbang rumahku. Dan,.. Dia Jaki.

Ku hampiri Dia, dan "De, pintunya jangan lupa dikunci. Kamu mau kemana sama Jaki?" tanyanya menatapku lantas berganti ke arah Jaki.
"Oh Juli mu,..."
"Ka, apa kabar? Aku sama Julia mau olahraga." ucap Jaki mendahuluiku.
"Berdua?" tanya kakakku.
"Kakak mau ikut? Tapi, bukannya kakak mau kuliah?" pancing Jaki.
"Aduh. Yaudah, salam buat mamah kamu yah." ucapnya langsung bergegas meninggalkan rumah.

Setelah yakin kakakku pergi dengan cepat, Jaki mendekatiku. Seperti tidak terjadi apa-apa. Apa yang dia pikirkan? Seharusnya dia juga canggung seperti aku sekarang? Batinku setelah mengambil handphone lantas mengunci pintu rumah.

"Taman di ujung gang." ucapnya kemudian tanpa memedulikan wajahku yang bingung.

Jaki, dengan kaki yang jenjang, lebar sekali langkahnya. Berulang kali aku berusaha menyamakan langkahnya dan memulai pembicaraan. Tapi, tiap usaha itu, aku ragu kembali.

***

"Udah lama yah kita nggak duduk bareng lagi di kursi taman ini. Satu minggu? Satu bulan? Atau dua bulan?" ucapnya sambil menggerak-gerakkan jarinya.
"Jaki,..."
"Iya?" Jaki pun menoleh ke arahku. Mata kami saling bertabrakan. Seperti ada desir aneh menyertai kami.
Tiga detik...
Empat detik...
Lima detik...
Aku langsung palingkan pandanganku ke arah lain. Berusaha menutupi wajahku yang mulai memerah.

Melihat aku seperti itu, ia pun memalingkan wajahnya ke arah lain pula. Tetapi, mulutnya terus berbicara akan masa lalu. Yang tentunya, masa saat bersamaku tiga tahun terakhir. Terus, dan tidak membiarkanku menyanggahnya. Sampai kepalaku terus kutundukkan ke bawah, ia berhenti berbicara. Menatapku. Dan meminta maaf padaku.
"Maafkan aku. Sungguh maaf." Akibat ucapan jaki kali ini, aku berhasil menangis. Tangannya memegang pundakku lembut, tapi aku rasa sentuhan itu sangat aku butuhkan. Jaki berusaha membuatku tegak. Dan kulihat matanya berkaca-kaca. Merah.
Aku sungguh tidak ingin melihat hal seperti ini.  Sehingga, ku putuskan untuk pergi. Tapi, gerakanku tertahan akibat ucapan Jaki yang terdengar pilu itu.
"Jangan pergi. Tetaplah seperti ini. Menangis lah." Maka, tanpa menunggu ia berbicara lagi, telah sempurna aku menangis.

***

24-05-2018

Untuk Sebuah Lembaran LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang