Ternyata berteman itu indah. Tak peduli kamu tipikal cewek atau cowok yang bagaimana, yang dia tau kau adalah temannya, teman hidup dan matinya.
Ferdina Resya
*****
Setelah jam makan Dina selesai, dia segera pamit kepada orang tuanya untuk kembali ke kamar. Ia baru ingat bahwa hari ada pesta di rumah temennya, Laras.
" Ibu, Ayah, Dina balik ke kamar dulu ya. Dina mau ke acara pesta temen, " ucapnya.
" Ya nak. Hati - hati ya, " jawab Ayah Dina.
" Oke Yah," balas Dina.
" Andaikan saja tadi gak hujan, aku gak akan lupa seperti ini, " gumam Dina dalam hati seraya bergegas menuju kamar.
Selang beberapa menit, dia sudah siap dengan segala pernak-pernik pakaian pesta. Sebenarnya Dina paling anti dengan yang beginian, tapi karena hatinya sedang dalam bermasalah, dia ikuti saja pesta ini. Toh Laras juga temennya. Ia langsung cabut dari rumah.
Selama perjalanan, Dina benar - benar tenang hatinya. Semilir angin yang menerpa wajahnya membuat dia tak bisa berkata lagi tentang nikmat Tuhan. Udara setelah hujan mampu membuat sosoknya segar kembali. Hingga tak terasa ia telah sampai pada rumahnya Laras.
Ketika sampai di depan pintu, Dina kaget. Suasana di rumah itu sungguh ramai. Membuat Dina kesel setengah mati.
" Tau gini, aku mending gak datang tadi, " gumamnya pelan.
Sebenarnya Dina paling gak suka dengan keadaan seperti ini. Terlebih disini dia seperti tidak dianggap oleh temen - temennya. Tapi siapa yang tau akan takdir? Beruntung sekali Dina masih mempunyai teman yang baik. Ya, dia adalah Laras Sendrana. Gadis lemah lembut dengan segala kecantikan di wajahnya itu. Tidak hanya cantik di fisik, dia juga cantik hatinya. Dia tidak membeda-bedakan temen di kelas. Ia juga mudah bergaul dengan yang lain. Karena itu lah ia sesikit akrab dengan Dina. Apalagi mereka duduk sebangku. Hari ini dia sedang merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Meskipun Dina tipikal cewek cuek, ia juga punya hati nurani. Lagian acara ini mungkin bisa menghibur dirinya yang sedang kacau.
Dina menghampiri Laras dan menyalami temennya itu.
" Happy sweet seventeen, Laras. God bless you, " ucap Dina.
" Terima kasih, Din. Aku senang kau datang. Semoga kita lebih akrab lagi ya, " balas Laras dengan ceria.
Aku hanya tersenyum, lalu pergi menjelajahi isi rumah Laras. Dia berhenti tepat di area makan dan mengambil makanan ringan. Sambil memakan makanan tersebut, tiba - tiba ia ingat akan kata Laras tadi.
" Semoga kita lebih akrab lagi ya, "
Temen macam apa kau, Dina. Tak bisa berbaur dengan temennya sendiri. Bahkan temen sebangkunya. Hanya karena kisah masa lalu yang menyakitkan membuatnya harus terkurung dalam lingkaran hitam seperti ini. Hingga akhirnya, sebuah tepukan tangan dipundaknya mengakhiri lamunannya tadi.
" Eh Laras, kenapa kau kesini?" tanya Dina dengan heran.
" Kamu gak perlu pikirkan kata - kataku tadi Din. Aku mengerti kok. Kamu sedang ada masalah yang serius bukan? " tukas Laras.
" Gak ada apa-apa kok, " jawab Dina.
" Ingatlah Din, bila kamu sedang ada di masa - masa sulit, jangan pernah berpikir bahwa kamu sendiri. Masih ada aku yang setia bersamamu. Kamu bisa cerita denganku nanti bila sudah siap, " kata Laras.
" Makasih Ras, " balas Dina.
Sungguh, perkataan Laras membuat Dina terharu. Baru kali ini ada orang yang mengerti akan hidupnya. Dina sangat bersyukur sekali. Dia berharap semoga Laras bisa mengubah hidupnya menjadi lebih indah, agar bukan hujan dan kenangannya saja yang mewarnai harinya setiap hari.
Tidak terasa senja sudah hadir dengan remang - remang rona jingganya, yang membuat ujung cakrawala menjadi indah. Karena acara susah selesai, Dina pun segera pulang menuju rumah.
Malam harinya, Dina langsung tertidur pulas di kamarnya. Masih dengan memakai baju pestanya tadi. Mungkin dia sedang lelah, karena seharian penuh ia ada kegiatan. Ya meskipun hanya sebuah tangisan, ternyata bisa membuatnya mudah lelah juga.
*****
Keesokan harinya, Dina telah bersiap untuk berangkat sekolah. Setelah sarapan, dia segera bergegas menuju sekolahnya.
Setiap hari yang dilakukan Dina di sekolah hanyalah datang duduk belajar lalu pulang.
Memang terdengar bosan, flat, dan abu - abu. Namun mau bagaimana lagi? Dia tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Ia merasa dirinya sudah tak bernyawa. Seakan raganya telah pergi bersama kenagan masa lalu yang menyakitkan.
Terkadang dia melamun di sungai dekat sekolah sambil bermonolog sendiri. Ia juga tak peduli dengan siswa lain yang mengejek dirinya. Banyak sekali perkataan laknat yang ditujukan untuk Dina. Pernah ada temen sebelah kelasnya yang mengatakan dia 'cewek muka tembok' karena sifat dinginnya yang sudah keterlaluan itu. Ada juga sebutan 'cewek jadi - jadian' sebab sifatnya yang menyamai laki-laki. Jutek, cuek, tak punya hati. Oh, julukan apa lagi untuk seorang Dina? Subhanallah, tak bisa terhitung deh. Dina hanya melengos dan pergi begitu saja. Dia tak peduli dengan ucapan mereka. Yang hanya ia pedulikan yaitu gimana caranya ia bangkit dari keterpurukan yang melandanya.
.*Pov Dina*
Bel berbunyi, tanda saatnya istirahat. Siswa - siswi langsung berhamburan begitu saja. Sebagian ada yang menuju kantin, ada juga yang di dalam kelas.
" Eh Dina, ayo ke kantin, " ajak Laras sambil merapikan alat tulisnya.
" Oke, " jawabku.
Langsung saja kami keluar menuju kantin. Saat itu, kantin sedang ramai. Aku malas sekali pesan makanan. Untung saja, Laras memesankan makananku juga. Kami duduk di bangku pojok kantin. Memakan makanan kami dengan tenang. Sesekali Laras bercerita hal - hal aneh.
" Din, lihat itu anak kelas sebelah, Si Sandi. Tau gak? " celetuk Laras tiba - tiba.
" Yang mana? " tanyaku.
" Itu, " jawab Laras sambil menunjuk siswa laki- laki di sebelah kantin mereka.
" Tampangnya sih sangar. Tapi suaranya kaya suara anak ayam. Eh itu juga Si Bagas, sebelahnya Sandi, dia emang sok cool tapi aslinya dia anak mama, hahaha, " kata Laras dengan tertawa.
Tentu aku tau mengapa ia seperti itu. Ia selalu punya cara untuk membuatku tertawa. Walaupun respon yang kuberikan hanya tersenyum, dia tetap saja bersikap seperti itu. Tapi, kali ini aku benar - benar tertawa. Aku merasa terhibur akan leluconnya tadi. Selamat Laras, kau berhasil mewujudkan keinginanmu. Ku harap kau tetap seperti itu sampai kapanpun.
.
.
.
.
.To be continued.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Membuatku Rindu
Short StoryDulu, katamu hujan merupakan perantara rindu yang kau sampaikan padaku melalui bulir -bulir airnya yang jatuh ke bumi. Sekarang aku mengakuinya setelah kamu pergi di telan semesta. Karena, bagiku hujan itu kamu. Kamu yang selalu kurindu, namun tak...