15

5.5K 224 0
                                    

"Baik di rasa cukup saya mengajar, dan waktu pun telah selesai. Kalau begitu saya permisi dulu," ucap dosen yang mengajar di kelas Olin, Raina dan Eriska itu sambil merapikan buku usai digunakan untuk mengajar.

Para mahasiswa di kelas tersebut mulai berkemas membereskan buku, lalu melenggang meninggalkan kelas.

Sampai tersisa Olin, Eriska dan Raina saja yang masih di dalam kelas. Entah apa yang membuat mereka selalu terakhir keluar saat kelas sudah usai.

"Eh, ke rumah gue yuk. Sepi nih di rumah," ajak Raina setelah merapikan buku-bukunya.

Olin dan Eriska yang sedang memasukkan bukunya lantas menoleh ke sumber suara yang tak lain adalah suara Raina.

"Bukannya rumah lo selalu sepi ya, Rai?" tanya Eriska sambil menahan tawa, Olin pun terkekeh mendengar pertanyaan Eriska.

Raina cemberut. "Ah elah, lo kan tau gimana."

"Iya–iya, ya udah ke rumah lo deh." ujar Olin, Eriska pun mengangguk menyetujui.

Raina pun yang tadi cemberut terpekik riang. "Asik"

"Ya udah yuk, kelas dah sepi." ajak Olin dan Raina serta Eriska mengangguk.

Mereka—Olin, Eriska, Raina pergi meninggalkan kelas menuju halte bus untuk menaiki kendaraan umum karena tidak ada yang membawa kendaraan pribadi satu pun.

Saat tiba di halte bus, mereka duduk di kursi tunggu yang disiapkan untuk para penumpang. Olin melihat seorang anak kecil yang menjual permen kapas (gulali) pun tertarik untuk membelinya

Olin langsung beranjak dari tempat duduknya dan menyebrang jalan. Karena ia kurang berhati-hati, ada sebuah motor dengan kecepatan tinggi yang hendak menabrak Olin. Olin pun melihatnya tak sempat untuk menyingkir dan—

BRAK!

Olin terguling di jalan tersebut, tetapi tak ada luka sedikit pun hanya tubuhnya merasa sedikit sakit karena terguling di aspal. Ia menoleh ke sampingnya dan ternyata...

"DEVAN!" teriak Olin histeris lalu ia berdiri dari tempatnya dan segera menuju ke posisi Devan berada.

Kepala Devan sudah berlumur darah, bahkan ada darah yang keluar dari mulut dan hidungnya. Olin mengangkat kepala Devan untuk dipangku di atas pahanya, di situ ia menangis histeris melihat keadaan Devan yang parah.

"Devan, kamu ngapain tolongin aku." Olin sesenggukan akibat tangisnya.

Devan tersenyum sambil terbatuk dan mengeluarkan cairan berwarna merah tersebut. "Aku gak mau kamu terluka, aku senang bisa nyelamatin kamu agar—kamu tetap dal—am keadaan baik." ucapnya terbata.

Olin menggeleng keras dan masih sesenggukan. "Gak! Harusnya kamu jangan selamatkan aku. Kamu harus kuat, aku akan bawa kamu ke rumah sakit." baru ia ingin berteriak kepada orang untuk menelfon ambulance tiba-tiba tangannya sudah digenggam hingga ia kembali membungkam mulutnya.

Lagi-lagi Devan hanya tersenyum manis bahkan dalam keadaanya yang sudah seperti itu. "Gak perlu Lin, aku cuma mau kamu—tetap bersamaku." ucapnya sambil menggenggam erat jari Olin.

"Gak Devan, kamu harus kuat! Aku akan bawa kamu ke rumah sakit secepatnya." pekik Olin.

Tiba-tiba mata Devan terpejam dan membuat Olin semakin panik bahkan tangisannya pun semakin menjadi, hingga ada seseorang memeriksa keadaan Devan. Mulai dari hidung, leher, tangan hingga dadanya, tapi semuanya nihil. Tidak diketemukan tanda-tanda kehidupan dalam diri Devan, dan Olin pun berteriak histeris.

"DEVAN!!!"

Olin segera tersadar dari alam mimpinya. Ia melihat sekelilingnya, dan ternyata ia masih berada di dalam kamarnya. Dadanya terasa bergemuruh dan matanya pun ada tetesan air yang menjalar ke pipinya.

PRINCE PILOT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang