RINDU yang KEEMPAT

51 7 1
                                    


KECEWA
\./
1. Kecil hati; tidak puas (karena tidak terkabul keinginannya, harapannya, dan sebagainya); tidak senang.
2. Gagal (tidak berhasil) dalam usahanya dan sebagainya.

---------------------------------------------

Bogor, Maret 2008

Hari demi hari berlalu, aku semakin dekat saja dengan Rakan. Dia sering sekali bermain PS bersama Faren. Katanya, dia sempat penasaran siapa Faren sebenarnya, saat kakak laki-lakiku itu datang ke rumah. Saat dijelaskan oleh Faren, ia baru paham.

Sudah ada hampir tujuh bulan aku tinggal di sini. Tetangga-tetanggaku juga ramah dan baik. Apalagi Rakan. Dan, yah … Rakan adalah tetangga sebelahku. Seperti kata Faren waktu itu.

Aku melanjutkan sekolahku di SMAN 2 Bogor dan sekarang aku sudah kelas 12. Itu artinya, Faren hanya tinggal menunggu satu tahun lagi untuk kuliah bersamaku.

Mendapat teman-teman yang ramah, membuatku semakin betah tinggal di sini. Tetapi tetap saja, aku rindu bunda.

Bunda yang baik, setiap harinya ia selalu meneleponku. Entah untuk menanyakan kabarku, atau hanya mengingatkanku sarapan. Bunda memang seperti itu.

Tentang Faren yang tinggal bersamaku, bunda sudah mengetahuinya dan ia sangat senang. Katanya, ada yang bisa menjagaku di sini. Padahal kenyataannya, malah aku yang menjaga cowok menyebalkan itu.

Tetapi setidaknya, lumayan ada Faren di sini. Kalau ada lampu mati atau keran bocor, cowok itu bisa aku paksa membenarkan dengan bayaran, tidak perlu mengantarkanku ke sekolah selama seminggu.

Sebenarnya, aku tak terlalu peduli dengan Faren yang tidak mau mengantarkanku ke sekolah. Lagipula, aku bisa berangkat sendiri. Jarak dari rumah ke sekolah lumayan dekat.

"Tumben udah bangun." Aku menoleh ke arah belakang, lalu tersenyum singkat. Faren dengan wajah bangun tidurnya selalu menyapaku setiap pagi.

Tetapi ada yang aneh dengan pertanyaan Faren barusan. Seharusnya, aku yang selalu menanyakan hal itu kepada Faren. Karena cowok itu selalu telat bangun.

Faren duduk di sofa dan merebut paksa keripik pisang yang tengah aku makan. Dia sesekali mengganti saluran televisi sambil bergumam tidak jelas. Menurut pendengaranku, dia hanya mengomentari setiap acara televisi yang ia tonton sesaat.

"Rakan ke mana?" tanya Faren menyenggol lenganku. Aku hanya mengangkat bahu tak acuh lalu kembali menonton acara televisi yang masih saja diganti-ganti oleh Faren.

"Kok lo nggak tau?" aku diam. Tidak ingin menanggapi pertanyaan Faren tentang Rakan.

Cowok itu … entahlah. Hampir seminggu ini tak pernah berbicara padaku. Mungkin sibuk, tapi aku tidak tahu.

"Dia biasanya sama lo. Harusnya lo tau, dong. Dia suka lo, harusnya lo tau. Lo nggak pernah peka, Van."

"Ya nggak tau. Emang gue kantongin!" jawabku ketus. Faren itu, kalau pertanyaannya tidak dijawab, ia akan terus bertanya sampai ia sendiri yang lelah. Dan masalahnya, aku tak pernah tahu kapan cowok itu akan lelah bertanya.

Ruangan ini terasa panas. Faren membuatku kesal setengah mati. Mengapa tak sehari ini saja ia tidak perlu mengangguku?

Faren memajukan wajahnya, melihatku dari dekat. Ia menaikkan sebelah alis, lalu mengangguk. "Dan … yah, gue cuma nanya. Lo sensian amat." Ujarnya dengan nada paling menyebalkan yang pernah aku dengar. Kemudian, ia bangkit dan melemparkan bantal sofa ke arah wajahku.

Terdengar suara tawa mengelegar saat aku memekikkan nama Faren karena bantal sialan itu tepat mengenai wajahku yang tengah memberengut.

Aku kesal dengan kelakuan Faren. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah kakak laki-lakiku yang pernah memukuli Andra--mantan pacarku--karena sudah berani membuatku menangis. Se-possesive itu, tetapi ia tak pernah mau mengakui kalau ia benar-benar menyayangiku.

Kebohongan di Bawah Kerinduan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang