RINDU yang KETIGA

60 6 0
                                    


ANEH
\./
1. Berbeda dengan yang biasa kita lihat (dengar dan sebagainya); ajaib; ganjil.
2. Tidak seperti biasanya.

----------------------------------------------

Bogor, Juli 2007

Aku mencepol asal rambut panjangku, lalu mengambil ponsel dan uang. Keluar kamar, menemukan Faren yang masih tertidur pulas di atas sofa. Padahal semalam, ia yang berjanji akan lari pagi denganku.

Mendengus malas, aku membenarkan selimut yang melilit tubuh Faren dan menaikkan sebelah kakinya yang berat ke atas sofa. Mau sedang tidur atau tidak, cowok itu tetap menyebalkan.

Aku berdecak sebal saat melirik jam digital yang duduk manis di depan televisi. Sudah jam enam pagi dan Faren belum juga bangun. Kalau menunggunya, akan lebih lama lagi.

Kuputuskan untuk lari pagi sendiri. Peduli sekali dengan Faren yang nantinya akan mencariku seperti orang gila. Salah sendiri bangun telat.

Udara minggu pagi kota Bogor memang sangat sejuk. Membelai lembut setiap helai rambut lurusku. Menerbangkan beberapa anak rambut nakal yang tak terikat saat aku cepol tadi.

Aku memasangkan earphone ke telinga kananku dan memutar lagu kesukaanku untuk saat ini. Melantun lembut seiring dengan langkah pelan kaki kecilku.

Sudah pagi sekali, namun orang-orang belum ada yang keluar dari rumahnya. Mungkin karena cuaca dingin dan sedikit mendung menjadi alasan untuk bermalas-malasan di rumah seperti Faren.

Setetes air hujan sukses jatuh mengenai ujung hidungku. Disusul tetesan air hujan yang lain. Segera, aku berlari ke sebuah warung yang masih tutup dan berteduh di sana. Menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku ke arah yang berlawanan.

Kalau tahu akan hujan dan udaranya sedingin ini, tadi aku pasti membawa jaket dan payung.

Hujan semakin deras. Sebenarnya, aku belum terlalu jauh dari rumah. Tetapi, kalau menerobos hujan deras, bajuku bisa basah kuyup.

"Saorangan wae, Neng?" tanya seorang bapak-bapak dari belakangku. Aku menoleh dan tersenyum simpul. Bapak tersebut duduk di sebelahku dan memberikan segelas teh hangat untukku. Kurasa, bapak ini sudah melihatku saat aku duduk di warungnya tadi.

Bukannya aku tidak mau menjawab pertanyaan bapak itu, aku hanya tidak tahu apa yang ia tanyakan. Maksudnya, ia berbicara dengan bahasa sunda, sedangkan aku lahir dan besar di Yogyakarta yang sebagian besar orang berbicara menggunakan bahasa jawa. Itupun, aku masih tidak terlalu lancar berbahasa Jawa.

Sambil menunggu hujan reda, aku menyesap sedikit demi sedikit teh yang--awalnya aku kira hangat--ternyata masih panas.

"Ada orang, Mang?" seseorang dari dalam warung keluar dan menyandarkan lengan kanannya di tembok. Ia melihat ke arahku, kemudian tersenyum. Rakan. "Kirain siapa." Ujarnya, kemudian duduk di sebelah bapak-bapak yang tadi.

"Kamu tinggal di sini?" tanyaku pada Rakan.

Baru saja Rakan ingin menjawab, sudah disambar oleh bapak di sebelahku. "Rumahna teh di ujung sana, Neng. Rek main kadieu."

Aku hanya tersenyum simpul. Dari dua kalimat yang bapak itu bicarakan. Aku hanya mengerti kata rumah, di ujung sana, dan main. Sisanya? Tidak tahu. Setidaknya, aku tahu kalau Rakan tidak tinggal di sini.

"Mana ngerti bahasa sunda dia, Mang. Orang Jogja." Rakan tersenyum ke arahku. Bapak yang ia panggil 'Mang' hanya mengangguk paham, kemudian beranjak ke dalam rumah. Mau masak nasi, katanya. "Sendiri?" tanya Rakan. Aku hanya mengangguk dan meletakkan gelas teh yang masih lumayan penuh ke atas meja di belakangku.

Kebohongan di Bawah Kerinduan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang