RINDU yang KEDUA

71 10 2
                                    


RINDU
\./
1. Sangat ingin dan berharap benar terhadap sesuatu.
2. Memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu.

-------------------------------------------

Bogor, Juli 2007

Tiga hari lalu, setelah melihat-lihat cukup lama rumah ini, aku kembali pulang dan hari ini siap untuk pindah. Sebenarnya aku tak mau mengulur waktu hanya untuk sekadar lihat-lihat. Karena bagiku, jarak dari Bogor ke Yogyakarta lumayan jauh.

Aku telah sampai di Bogor sejak kemarin, tetapi barang-barangku baru sampai hari ini. Jadi semalam, aku hanya tidur di atas karpet tanpa televisi yang menontonku setiap ingin tidur.

Biasanya, sebelum tidur aku selalu menonton televisi. Tetapi, berhubung aku selalu cepat tidur jika sudah menyalakan televisi, jadilah benda itu yang menontonku.

Sekarang, sambil menunggu barang-barangku diturunkan dari mobil pick-up, aku memainkan ponselku di depan rumah sambil membalaskan pesan-pesan yang Faren kirimkan. Aku baru tahu, kakakku itu sangat perhatian padaku. Mungkin karena sebentar lagi aku akan tinggal jauh darinya.

Aku memasukkan ponselku ke dalam saku jumpsuit yang aku kenakan. Dari sini--jika berjinjit sedikit--dapat kulihat tebing tinggi dan pegunungan. Daerah yang sangat asri untuk ukuranku yang jarang sekali keluar rumah.

"Non, ini sudah semua diturunkan, apa mau sekalian disusun?" tanya seorang petugas mobil pick up sewaan bunda padaku. Bapak itu berdiri di depanku dan berbicara dengan sedikit menunduk. Bukan seolah terlalu menghormatiku sebagai pelanggannya, tetapi karena aku … pendek.

Mendongak sedikit, aku tersenyum dan menggeleng. "Nggak perlu, Pak. Nanti atau besok aja saya susun sendiri. Biar bisa pas sesuai keinginan. Hehehe." Jawabku, lalu terkekeh kecil.

Bapak itu mengangguk dan kembali ke dalam rumah, menghampiri para anak buahnya.

Aku mengambil ponselku saat benda pipih itu seperti bergetar di dalam saku. Dan ternyata benar, ada yang menelepon.

"Kenapa, Mas?" tanyaku setelah menjawab telepon tersebut. Dari seberang sana, aku mendengar suara bising dan keramaian. Padahal katanya saat mengirim pesan padaku, ia masih berada di rumah.

"Kirimin alamat rumah lo yang di Bogor, Van. Pusing gue nih!" jawabnya dengan nada seperti orang kelelahan. Sebenarnya, kakakku ini kenapa?

"Iya, nanti dikirim. Kenapa emang?" tanyaku lagi. Aku penasaran dengan kakakku yang tiba-tiba meminta alamatku.

Tak lama, bapak petugas yang tadi menghampiriku dan menunggu sebentar karena aku sedang mendengarkan Faren berbicara.

"Ada apa, Pak?" tanyaku pada bapak itu. Melupakan suara Faren yang sudah buyar di dalam kepalaku. Padahal, Faren sedang menjelaskan alasan mengapa ia meminta alamatku. Biarlah, nanti aku bisa bertanya lagi, 

Bapak itu tersenyum dan menunjuk ke arah rumahku. "Sudah selesai diturunkan semua, Non. Saya permisi pulang, ya?" ujar bapak itu dengan kepala menunduk. Sungguh, aku sebal jika berbicara seperti ini. Aku jadi seolah sangat pendek. Padahal, bapak ini saja yang terlalu tinggi.

"Iya, Pak. Terima kasih." Jawabku seadanya karena aku tak tahu harus menjawab apa lagi. Bingung.

"Sama-sama, Non. Saya permisi." Lalu kemudian, bapak itu pergi dan meluncur bersama mobilnya. Meninggalkanku di sini sendiri.

Lalu, aku teringat dengan Rakan yang selama aku di Yogyakarta, ia menjaga rumah ini. Sekarang, ke mana dia? Mungkin karena aku sudah tinggal di sini, ia tidak kemari lagi.

Kebohongan di Bawah Kerinduan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang