B A G I A N L I M A - A MAN FROM THE PAST

19 1 0
                                    

Aku mengedarkan pandangan kesekeliling taman. Hari ini rencananya aku dan pria menyebalkan itu akan berkencan. Namun sepertinya agenda kencan itu terancam batal karena ia sama sekali belum menunjukkan batang hidungnya. Padahal sudah sekitar satu setengah jam aku duduk menunggu di kursi taman ini. Bahkan taman ini sudah sepi sejak dua puluh menit yang lalu. Jelas saja, saat ini sudah menunjukkan pukul setengah enam sore dan tentu saja para pengunjung sudah pergi. Sepertinya hanya aku yang dengan bodohnya masih saja mau menunggu disini.

Aku mendenguskan nafas kesal. Stok kesabaranku sudah terkuras. Ia dan kebiasaan buruknya sudah tidak bisa ku tolelir lagi. Aku mengambil sling bag ku dan memutuskan untuk pergi dan berhenti menunggu. Masa bodoh dengan pria menyebalkan itu.

.
.
.
.
.
.
.
Aku mengigit bibir bawahku dengan menundukkan kepala dan memainkan gelas coffee ku yang sudah dingin. Sial memang. Disaat aku mati-matian menghindari nya, Takdir justru berkata sebaliknya.

"Hai, Apa Kabar?" Aku termangu mendengar sapaannya. Rasanya asing. Sangat-sangat asing ketika mendengarnya. Seolah baru pertama kali aku mendengarnya menyapa terlebih dahulu. Ah ya tentu saja. Karena dahulu dirinya tidak pernah menyapaku dengan nada hangat seperti itu. Kalian tentu tahu siapa gerangan yang diriku maksud bukan?

Aku bungkam. Sama sekali tak membalas sapaannya. Bahkan tersenyum pun tidak.

"Ehm, rasanya sangat canggung ya? Kira-kira berapa lama waktu yang kita lewatkan sehingga kita tak pernah berbicara berdua seperti ini?" Dia yang ku tak mau sebut namanya masih berbicara guna menghidupkan suasana hangat diantara kami berdua. Dan aku masih teguh dengan kebungkaman-ku oh, atau lebih tepatnya muak.

"Coffee latte? Ah rupanya seleramu tak berubah sejak dahulu ya Haha" katanya dengan tertawa sumbar. Lucu sekali. Dia yang masih enggan kusebut namanya bahkan tak mengingat minuman favoritku sama sekali saat bersamanya dahulu. Apakah Segelas Americano itu sama dengan segelas Coffee Latte? Dia tidak bisa membedakan atau benar-benar bodoh?

Sayup-sayup aku mendengar lagu yang tak asing ditelingaku. Ah, melodi No Good In GoodBye dari The Script rupanya. Dan kulihat dia yang masih tak ingin kusebut namanya tersenyum dengan mata berbinar sambil memandangku. Kutebak, dia kembali akan mengucapkan sesuatu yang kuharap tak mempermalukan dirinya sendiri

"Ah aku tahu lagu ini. Ini lagu favoritmu kan? Lagu yang sering kau nyanyikan dahulu saat kita bersama kan?" Kali ini aku tak sanggup menatapnya dengan tatapan tidak mencemooh. Mana mungkin aku menyenandungkan lagu perpisahan saat bersamanya dahulu kan?

Melihat tatapanku dia meringis malu

"Ah aku keliru ya?"

"Tidakkah kau lelah menjadi badut dadakan seperti ini Adrian?" Akhirnya aku menyebut namanya. Nama yang dulu selalu kuucapkan dengan senyum berseri namun kini, menyebutnya pun setengah hati aku tak sudi.

Senyuman di wajahnya pun luntur. Mungkin jika dahulu aku akan merasa iba atau bersalah terhadapnya. Namun kini, rasanya hatiku sudah mati rasa akan segala perlakuannya.

"Katakan, apa maksud dirimu tiba-tiba menghampiriku dan dengan polosnya menyapaku dan membuka obrolan denganku yang demi tuhan memuakkan sekali itu? Seingatku, kemarin-kemarin ini aku masih melihat dirimu membuang muka dariku." Ucapku ketus. Sekilas aku dapat melihat tatapan terluka di matanya namun aku bersumpah aku tidak peduli. Silahkan kalian menyebut diriku dengan sebutan wanita jahat.

Keadaan hening beberapa saat. Bunyi rintik hujan mulai terdengar. Aku memalingkan wajah menatap hujan yang semakin lama semakin lebat dibandingkan dengan menatap pria yang duduk dihadapanku saat ini.

"Seberapa dalam sebenarnya luka yang aku torehkan kepadamu Andhara?" Aku tertegun mendengar pertanyaan-nya.

Kurasakan genggaman pada telapak tanganku dan tanpa bisa kucegah setetes air mataku terjatuh saat itu juga. Adrian mengeratkan genggaman tangannya, seolah memintaku menatap matanya. Dan seolah tersihir, aku pun menatapnya dengan pandangan mata yang mengabur oleh air mata. Satu yang kutahu, sedalam apapun aku mencoba membencinya, nyatanya aku tak bisa. Dan aku hanya menyakiti diriku sendiri saat melakukannya.

"Nampaknya kamu sangat terluka olehku ya?" katanya bermonolog dengan tersenyum getir. Isak tangisku pun terdengar. Dan aku semakin melihat tatapan terluka pada kedua bola mata Adrian. Jelas. Teramat sangat jelas.

Aku menundukkan kepalaku. Rasanya aku telah menjadi seseorang yang jahat saat ini.

Kurasakan Adrian berdiri dari kursi yang didudukinya dan duduk di kursi samping diriku. Dan tanpa kuduga ia memelukku. Memelukku dengan erat dan menyesakkan. Sementara kedua tanganku terkulai lemah di kedua sisi tubuhku.

"Maaf. Maafkan aku. Maafkan segala kesalahanku padamu, maaf karena membuatmu terluka, dan maaf karena telah meninggalkan luka yang besar pada dirimu dan pergi dengan tanpa mengobatinya." Ucapnya sambil semakin mengeratkan pelukannya. Seolah-olah takut jikalau aku meninggalkan dirinya. Dan tanpa aku sadari, aku membalas pelukannya dengan sama erat saat mendengar kembali ucapannya ah, atau pengakuannya.

"Aku Masih Mencintaimu Dhara."

.
.
.
.
.
.
.
.

Diseberang jalan raya tempat kedua sosok pasangan mantan kekasih yang sedang membahas kisah masa lalu itu, seseorang berdiri dengan memegang payung hitam guna melindungi diri dari rintik hujan sambil menahan sesak yang teramat sangat pada ulu hatinya.

Ia terluka sendirian. Lagi. Tanpa sang penoreh luka sendiri itu sadari bahwa ada yang tersakiti.

Luka itu kembali tercipta namun, tidak pada ruangan yang sama. Luka itu kembali menganga, namun pada sosok yang berbeda. Luka itu kembali menyiksa, namun dengan alasan yang berbeda. Satu kesamaan yang paling penting adalah, dibuat oleh seseorang yang sama.

Elfandra Alcander Cirrillo kembali merasakan patahan pada hatinya. Ironisnya, patahan itu dibuat oleh kekasihnya sendiri, tanpa kekasihnya itu sadari.







- TBC -

a/n.
Dreamers back, Rindu nggak? Wkwkwkwk

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AFTER A MINUTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang