Hidup menjadi Arga tak sesulit yang Arin kira.
Di sekolah, Arga cukup populer. Arin tidak perlu repot-repot mengerjakan PR karena teman-teman Arga siap membantu. Apalagi kalo ulangan, surga dunia. Dari a sampai z, semua membantunya. Mungkin benar kalau Arga disebut Raja Sekolah. Dia memang tampak seperti raja yang memiliki banyak pelayan. Arin agak kagum dengan yang satu ini. Sebagai rakyat jelata, ini kepuasan tersendiri diperlakukan sebagai Raja.
Arin tengah membuka loker Arga di sekolah saat ia mendengar bisik-bisik dari kanannya.
“Besok kamu mau ngapain, Rin?” suara Davin! Itu suara Davin.
Arin melirik Davin dan Arga—dalam wujud Arin—tengah berjalan berdua di koridor, dekat sekali dengan lokernya. Sudah lama sekali Arin tidak melihat Davin. Rasanya berpuluh tahun ... oke, bakat lebay Arin masih muncul meski tak sesering dulu.
“Besok sih mau main bareng Arta-Arza aja. Mereka lagi seneng banget main video game terbaru di Wii. Padahal ya, Vin. Aku tuh bete banget kalo main bareng mereka. Aku dianiaya. Dihina Dicaci maki. Parah banget, deh! Aku udah gak tau lagi harus gimana sama dua orang itu,” oceh Arga—wow, Arin pangling dengan kemiripan intonasi dan ocehan berlebihan cowok itu.
Sangat amat persis dirinya.
Davin tertawa kecil, lengannya membuka di belakang punggung Arga, lalu ia merangkul bahu pacar-nya. Sedetik, Arin melihat Arga berjengit geli. Pasti dalam pikiran cowok itu seperti ini; ANJIR GUE BERASA HOMO.
Meski kecemburuan membakar di hati Arin, melihat Arga tersiksa membuat kecemburuan itu tersapu. Arin terkekeh geli sambil menyangga berat badannya di kosen loker. Begitu merasakan Arga dan Davin telah melintasinya, Arin pun menutup loker setelah membawa buku mapel.
Hari ini ada kelas Geografi, Arin sendiri tak begitu peduli. Jurusannya beda dengan Arga. Arin IPA, sementara Arga IPS. Jelas sekali mengapa Arin tida mengenal Arga dulu, meski katanya Arga itu Raja Sekolah.
“Hai!” sapa Alexis kala Arin memasuki kelas.
Pacar Arga ini memang satu kelas dengan Alexis. Arin tersenyum singkat pada Alexis dan duduk di sebelahnya. Nyaris saja Arin berjengit geli kala Alexis menggenggam erat tangannya.
Anjir, karma. Karma! Batin Arin berteriak.
“Hari ini ada pertandingan basket, kamu mau nonton?” tanya Arin, berharap Alexis ikut.
Hari ini, ada pertandingan basket di sekolah Arin. Apa lagi yang Arin ingin lihat selain Davin. Davin selalu menjadi ketua tim basket. Arin ingin banget melihat Davin di pertandingan, meski dalam wujud Arga. Cukup aneh jika Arin menonton pertandingan sendirian, padahal dari yang Arga bilang, dia tidak begitu suka pertandingan basket.
Jadi, Arin mengajak Alexis sebagai tameng.
“Kamu ... tumben,” ucap Alexis dengan mata membelalak.
Arin mengaku Alexis sangat amat cantik dengan mata membelalaknya itu. Dan ia agak iri.
“Lagi pengen cari suasana baru aja. Bosen sama—“ eskul Arga apa?! “—futsal.”
“Iya juga sih. Kamu dari kelas sepuluh main futsal mulu, pasti bosen,” Alexis manggut-manggut, Arin tidak mengira dia percaya begitu saja.
“Jadi?” tanya Arin.
Plis ikut. Plis ikut. Plis. Plis. Oh, duhai Alexis. Ayolah. Aku mau melihat Yayang Arga—eh, Davin main basket.
“Oke, aku ikut, Sayang,” senyum Alexis mengembang, ia mencium pipi Arin sekilas.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Switch - Arin
Teen FictionOkay, siapa sih yang tidak kesal karena diperlakukan semena-mena? Lagi, kenapa Arin sangat teramat sial karena bertemu dengan orang jutek, tidak tahu terimakasih, menyebalkan, sinis, macam Arga? Oh God, bahkan di otak Arin masih terpatri jelas omo...