Tentu, bukan hal mudah bagi Arin berada di tubuh seorang cowok menyebalkan, tidak tahu terimakasih, sinis, macam Arga. Apalagi jika dia ingin pipis. Arin bingung harus melakukan apa. Jadi, image cowok eksis seperti Arga tampak hancur kala Arin—dalam raga Arga—melompat-lompat kecil di samping pintu toilet cowok dengan ekspresi “uh, Mama, aku mau pipis. Udah gak tahan!”.
“Lo ngapain, Ga?” tanya salah satu teman sekelas Arga, kalau tidak salah namanya Anto—atau Ardi? Ah, Arin lupa.
“Gue ... gue lagi, duuuh,” suara Arin melengking panjang, dia menggigit bibir bawahnya, bergerak seperti cacing kepanasan.
Anto—atau Ardi bingung. “Anjir, lo kesambet setan dari mana, Ga?”
“Gak, gue ... duh, kalo cowok pipis berdiri apa duduk, sih?!” jerit Arin.
Canggung sesaat sebelum Anto—atau Ardi menjawab. “Biasanya sih ... berdiri. Tapi kalo lagi gak ada kloset berdiri, ya pake yang duduk.”
“Terus harus liat itu-nya gak?” tanya Arin lagi.
“Lo bener-bener kesambet ya, Ga?” wajah Anto—atau Ardi mulai tidak enak, was-was, dia bahkan memberi tiga langkah menjauh dari Arin.
Beberapa orang melihat ke arah mereka dengan bingung, sebagian kasak-kusuk, sebagian memperhatikan seolah tampang Arga patut dilihat sejeli mungkin. Padahal, menurut Arin, wajah Arga biasa-biasa saja. Lebih rupawan Davin-nya tersayang, tercinta, terkasih.
“Gue gak kesambet, ilah! Udah cepet kasih tau. Harus liat atau merem juga bisa?!” nada suara Arin meninggi beberapa oktaf, ternyata raga Arga yang terbiasa arogan dan kejam bisa mempengaruhi Arin juga.
“Ya terserah lo,” Anto—atau Ardi tampak sangat ketakutan. “Gue cabut dulu.”
“Eh, Anto—atau Ardi! Bantuiiin,” rengek Arin.
Beberapa orang yang mendengarnya langsung berjengit, ngeri sekaligus geli.
“Gue bukan Anto, bukan juga Ardi, nama gue Indra,” Indra berjengit juga. “Dan, please, lo bener-bener kayak bukan Arga.”
Arin menghela napas panjang, dia mengangguk sesaat, berusaha sebisa mungkin mengontrol ekspresinya. “Gue becanda doang. Udah, ya. Gue ke toilet dulu,” ucap Arin, sebisa mungkin berbicara seperti Arga.
Mungkin Arin pantas mendapat piala penghargaan karena ekspresinya berubah cepat.
Oh, Tuhan.
Arin masuk ke dalam toilet cowok, dia menutup matanya sebisa mungkin, tidak mau melihat itu para cowok-cowok yang tengah berada di toilet juga. Beruntung, ada bilik toilet. Arin masuk ke dalam, melepas celananya. Dia menutup mata, sebisa mungkin melakukannya secara hati-hati.
Plis, ini lebih buruk dari mimpi apapun, batin Arin. Setelah selesai, Arin menghembuskan napas sangat amat lega. Lalu, saat ia berdiri dan tak sengaja menunduk, Arin lupa.
Arin belum memakai celananya dengan benar.
Sontak, teriakan histeris Arin terdengar seantero toilet cowok.
••• A-S •••
Setelah insiden kecil di toilet, yang membuat satu sekolah gempar, juga ada gosip miring kalau Arga-Indra ternyata homo, membuat Arin tidak bisa diam. Dia tidak mau dikatakan homo meski sebenarnya bukan urusan Arin karena yang menjadi kambing hitamnya adalah Arga. Tapi, sekarang yang menjalani hidup sebagai Arga itu Arin, dan entah sampai kapan Arin seperti ini.
Oh, hidup yang nelangsa.
Hidup yang sangat amat kejam.
Tidak adil.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Switch - Arin
Genç KurguOkay, siapa sih yang tidak kesal karena diperlakukan semena-mena? Lagi, kenapa Arin sangat teramat sial karena bertemu dengan orang jutek, tidak tahu terimakasih, menyebalkan, sinis, macam Arga? Oh God, bahkan di otak Arin masih terpatri jelas omo...