Arin - 8. Cringe

47.8K 4.1K 480
                                    

Arin – 8. Cringe

“Kak, ambilin susu di lemari, dong!” pinta Abby dengan senyum berseri-seri.

Arin mengangguk. Dia berhenti memakan serealnya dan mengambil kotak susu di lemari atas. Jarang sekali Abby tampak sesenang itu. Pasti ada hal bagus di baliknya. Arin memberikan kotak susu itu seraya mencermati wajah Abby.

Apa dia udah punya pacar? Tanya batin Arin. Cewek itu dengan cepat menggeleng. Gak. Gak mungkin! Enak aja, masih kecil udah pacar-pacaran.

Lalu, Arin sadar sikapnya mulai protektif, dia menghela napas dan kembali duduk. Padahal, Kakaknya yang sebenarnya—yaitu Arga, si Iblis yang mendadak baik pada Arin—tidak begitu peduli pada Abby. Sudah pasti Arga bodo amat jika Abby pacaran sekalipun.

Arin kembali melihat mangkuk sarapannya. Mendadak dia tidak bernafsu makan lagi. Dia ingin sarapan bersama Davin di sekolah seperti biasanya. Tapi karena sekarang Abby selalu sarapan, Arin mengikuti kemauan anak kecil itu. Arin sendiri tidak mau dapur Arga kotor karena Abby. Terlebih, Arin harus mengawasi jika Abby berani memasak mie goreng. “Gak sehat bagi usus kamu”, begitu yang Arin bilang jika Abby protes dengan bibir cemberut.

“Kamu ... ehm, kamu hari ini seneng banget. Kenapa?” tanya Arin, berusaha sekasual mungkin. Arin banyak belajar dari Arga, cowok itu tidak pernah menganggap apapun serius dan berusaha mungkin membuat semua hal sebagai angin lalu.

Dan, Arin berhasil, untuk kali ini.

“Gak seneng-seneng amat sih,” Abby mengangkat kedua bahunya. “Cuma ... Mama-Papa minta kita dinner di resto sahabatnya.”

Arin tersedak minumnya.

Apa?! Ortu Arga ngajak Arga dinner?! Seriously?

Abby melongo, menatap Arin bingung. Sedetik kemudian, tawanya berderai. Jari telunjukku yang mungil mengarah pada bibirnya. “Kumis Susu!” ledeknya.

Arin mengelap sisa susu yang berada di antara hidung dan bibir atasnya. Dia nyengir malu. Rasanya Arin ingin menggali lubang dan mengubur dirinya—diri Arga tepatnya—hidup-hidup.

“Kak,” panggil Abby di sela-sela sarapan mereka. Untungnya, Abby tidak mengungkit “Kumis Susu” lagi.

“Yup?”

“Aku tau Kakak bukan Kakak,” tembaknya.

Arin lagi-lagi tersedak.

“Tuh!” Abby berdiri dari kursinya, matanya membelalak kaget, campuran antara bahagia, puas, dan sedikit marah. “Harusnya Abby tau dari awal! Waktu hari Senin kemaren Kakak teriak-teriak sendiri! Waktu Kakak tiba-tiba baik! Waktu Kakak—“

“Abby, IQ kamu berapa, sih?” tanya Arin, benar-benar terkejut.

“148, kenapa?” hardik Abby.

Pantes. Arin meringis sendiri. Dia sudah bisa beradaptasi di sekolah. Tapi awal-awal bertukar tubuh, dia sempat panik di rumah Arga. Sudah pasti, Abby curiga. Apalagi sifat Arin yang bertolak belakang dengan Arga. Abby benar-benar curiga, mungkin mata adik Arga itu seperti mata kucing. Telinganya seperti kelinci. Dan dia ... entahlah, apa bisa mimikri layaknya bunglon?

Pikiran gue udah random.

“Sekarang, kamu siapa?” tanya Abby langsung.

Arin menghela napas. Sudah bertukar tubuh dengan musuhnya. Harus bisa beradaptasi sebagai Arga. Sekarang, dia tertangkap bahas di depan adik Arga sendiri. Mengapa tahun ini semuanya tentang Arga, Arga, Arga.

Arin mual.

“Nama aku, Arin. Arin Azalea. Tinggal di sebrang rumah kamu. Dan Kakak kamu, Arga, sekarang ada di rumah aku,” Arin mendekatkan wajahnya pada Abby. “Raga kita ketuker.

A Switch - ArinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang