Arin - 16. Sing, Dance, and Drift
Sewaktu masih berpacaran dengan Davin, Arin tidak pernah bisa menentukan tempat kencan mana yang ia mau. Davin selalu mengajukan usulan. Mata Davin waktu itu seolah tak terbantahkan. Mau tak mau, Arin selalu menuruti kemauan Davin.
Tapi sekarang beda.
"Arin, mall yang ini jauh banget. Harus lewat tol. Yang deket aja," bantah Arga sewaktu Arin meminta mall paling jauh.
Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat Arin ingin merajuk. Seolah memang seharusnya begitu. "Pokoknya mall yang ini! Yang ini atau kita gak pergi sama sekali."
Arin senang mendengar dirinya sendiri menyebut 'kita'.
Bola mata Arga seolah ingin copot karena pelototan dahsyatnya. Ia menghela napas keras-keras. Arin mengamati perubahan wajah Arga. Awalnya tampak jengkel, kemudian seperti ingin memprotes lagi, dan akhirnya menyerah.
"Oke," ucap Arga, ia mengulang lagi. "Oke."
"Lo gak usah desperate gitu, Ga," tawa Arin berderai. "Gue suka mall yang di situ soalnya luas. Karaokean tiga jam juga murah soalnya paketan. Game centre-nya juga."
Kali ini, Arga tidak membalas perkataan Arin. Cowok itu malah cemberut seperti anak kecil. Membuat Arin gemas ingin mencubit pipi Arga. Kadang, Arin berpikir Arga seperti anak-anak.
Dan Arga menunjukaan sisi itu hanya pada Arin.
Senyum Arin terukir. Sedetik kemudian, ia tersadar dan menggelengkan kepalanya. Kenapa gue harus seneng? Biasa aja kali. Arga doang.
Sesampainya di mall yang Arin mau, cewek itu langsung melesat menuju tempat karaoke langganannya. Pasalnya, Arin selalu ke sini jika mood-nya benar-benar jelek. Arin juga sudah familiar dengan tempatnya. Tidak terlalu bising seperti tempat karaoke kebanyakan.
Setelah membeli paket tiga jam penuh, Arga baru masuk ke dalam tempat karaoke dengan keringat bercucuran. Arin melambaikan tangan dengan semangat ke arah Arga. Cowok itu berderap menuju Arin dengan tampang jengkel.
"Lo lari kayak mau ngambil sembako," semprot Arga langsung.
Cengiran Arin berkembang. "Ini lebih penting daripada sembako. Yuk, gue udah bayar, tiga jam penuh."
Mata Arga melotot. "Tiga jam?" tanyanya, membeo.
Arin mengangguk, menggandeng tangan Arga yang masih membatu di tempat. Ia masuk ke dalam ruangan nomor 3. Tempat paling nyaman di sini. Arin duduk tepat di tengah tv. Arga di sebelahnya.
Seorang pelayan datang dan menyalakan tv, serta memberi mik pada Arin dan Arga. Setelah pelayan itu keluar, Arin langsung mencari lagu yang paling tepat untuk kondisinya saat ini.
Catatan, kondisi saat ini yang Arin maksud adalah; patah hati, terkhianati, dan rasanya mau mati.
Arin melotot kala melihat lagu dari band favoritnya. Against The Current. Ia bertepuk tangan riang dan mulai memilih lagu dari band tersebut.
Senyum Arin makin mengembang kala matanya tertuju pada lagu itu.
"Eh, udah milih lagunya?" tanya Arga kaget kala musik intro mengalun.
Arin mengangguk. Ia mengambil miknya, berdiri. Arin melihat Arga kaget sewaktu ia menaruh satu kakinya di meja.
Arin benar-benar ingin menggila malam ini.
I wish there was another you, 'nother way
And I just can't find the words I should say
KAMU SEDANG MEMBACA
A Switch - Arin
Roman pour AdolescentsOkay, siapa sih yang tidak kesal karena diperlakukan semena-mena? Lagi, kenapa Arin sangat teramat sial karena bertemu dengan orang jutek, tidak tahu terimakasih, menyebalkan, sinis, macam Arga? Oh God, bahkan di otak Arin masih terpatri jelas omo...