Arin - 22. How to Fix

43.7K 4.2K 1.1K
                                    

Arin - 22. How to Fix

Dinner kedua. Kali ini, jangan berlaku tidak sopan seperti dinner pertama. Peringatan mamanya terus terngiang di otak Arin. Menghela napas. Arin membetulkan gaun terusan selutut berwarna birunya. Jemarinya perlahan menyisir rambut yang Arin biarkan tergerai jatuh di pundak.

Makan malam yang ke-dua bersama calon tunangannya kini diselenggarakan di restoran. Tempat paling indah. Dengan lanskap kota Jakarta yang begitu menakjubkan. Begitu kata orangtua Arin, berusaha membujuk anak perempuan satu-satunya untuk ikut hadir. Arin tak tertarik. Sama sekali tidak kalau calonnya bukan Arga.

Cewek itu meringis, mengambil tas tangannya dengan lesu. Keluar kamar, menuruni tangga, keluar rumah, masuk ke dalam mobil. Melakukan semuanya seperti robot. Arin menatap pemandangan di luar kaca mobilnya. Awan-awan menggantung di langit kelabu. Sebentar lagi pasti hujan. Terdengar petir di kejauhan, membuat Arin bergidik.

Andai Arga di sini, gue bisa meluk dia.

Detik ke detik. Menit ke menit. Arin dan kedua orangtuanya sampai di restoran. Arin berjalan terhuyung mengekori kedua orangtuanya. Sama sekali tidak bersemangat. Apalagi membayangkan ia dan Davin jadi teman hidup. Film horror menjadi nyata bagi Arin jika itu terjadi.

Restoran itu benar-benar indah. Anggun. Menawan. Penuh ornamen klasik. Benar-benar mewah mencolok mata. Suara gesekan biola pun terdengar merdu dan menenangkan hati. Kedua orangtua Arin berjalan ke arah meja yang agak terisolir. Privasi. Dari sini, percakapan mereka tak terdengar.

Arin meneguk ludah.

Disitulah Davin. Bersama kedua orangtuanya. Tengah duduk manis. Menunggu Arin. Tersenyum kecut, merutuki Davin, dan menyumpah-nyumpah sudah Arin lakukan. Namun dia tidak bisa membantah orangtuanya. Apalagi menolak perjodohan konyol ini.

"Arin cantik banget, ya. Kayak ibunya," puji Tante Tara, ibu Davin.

Ayah Davin, Om Topan, tersenyum. "Cocok bareng Davin."

Arin hanya tersenyum tipis, mengusap dahi, lalu duduk bersebrangan dengan Davin. Sialan, cocok dari mana? Diliat dari ujung sedotan baru cocok. Aaa, Argaaaa, sini dong. Hiks. Masa aku mau dijodohin, kamunya malah gak adaaa. Gantiin Davin dong, aku maunya dijodohin sama kamu. Hiks. Huweee. Ya Tuhan, Hamba mau Argaaa.

"Arin suka makan seafood, 'kan?" tanya Tara membuyarkan lamunan Arin.

Arin mengangguk. Masih membisu.

"Sayang, kamu kenapa? Lagi sakit?" tanya Davin sambil menangkup tangan Arin yang ada di atas meja.

Mendengus pelan, Arin tersenyum kaku. "Gak lagi sakit," ucapnya. Melepas tangan Davim sesopan mungkin.

Suasana canggung menggantung di sekitar mereka. Para orangtua mengambil alih keadaan. Mereka sekarang sibuk membicarakan masa SMA. Lagi-lagi masa lalu. Bukankah Arin sudah berdamai dengan masa lalu-nya bersama Davin? Oke, Davin memang brengsek, sampai sekarang pun belum tobat. Tapi Arin benar-benar telah berdamai. Telah melepas Davin. Tak peduli tentangnya lagi. Arin tidak melihat masa lalunya, ia sibuk melihat masa depan. Masa depan dimana Arga ada di sampingnya.

BUKAN DAVIN!! batin Arin menjerit. Bukan Davin yang ada di samping gue. Tapi Arga. Arga. Arga.

Arin menyeka air matanya yang mendadak keluar. Memang ia cengeng, berisik, lebay, dan segala hinaan yang dulu sering Arga lontarkan. Itu fakta. Meski Arin marah, namun Arga membawanya ke realita. Bukan seperti Davin yang memuji tiap sifat buruk Arin. Bukan seperti Davin yang ternyata penipu. Bukan seperti Davin—

"Selamat malam," sebuah suara terdengar kalem, dan sedikit dewasa.

Arin mengerjapkan mata. Ia menoleh ke asal suara. Di belakangnya, berdiri Arga. Berjas dan dasi yang terpasang sempurna. Tampak sangat amat ganteng. Bahkan Arin tak heran jika air liurnya menetes. Serius.

A Switch - ArinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang