sambil baca, coba dengerin lagu di sebelah. All of the Stars, cover-nya Mary Desmond.
Arin – 14. Br-ok-en
Hari Senin.
Arin membuka kedua mata dengan berat. Arin benci hari ini. Selain karena hari Senin ia harus tahan berdiri saat upacara, hari inilah dimana semua malapetaka dimulai—pertukaran jiwa, kalau kalian lupa.
Awalnya, Arin hanya bisa melihat warna putih. Ia menjauhkan kepalanya beberapa senti. Matanya bekerjap. Arin serta-merta menjerit kala matanya telah fokus.
Dia memeluk si Pocong. Erat.
Si Pocong yang Arga damba-dambakan.
Arin langsung menyibak selimut yang membungkus tubuhnya. Melotot, Arin melihat ke sekeliling. Semua barang-barang-nya ada di tempat yang sama. Dinding warna putih-merah jambu. Tumpukan boneka berjejer rapi.
Dan, seragamnya yang tersampir di kursi belajar, bawahannya ROK.
ROK.
Tak menunggu satu atau dua detik lagi, Arin melirik bayangannya di cermin. Ini diri-nya. Dirinya yang asli. Arin bukan lagi cewek yang terjebak di dalam tubuh cowok sinis dan punya masalah sama keluarganya.
Sekarang, Arin benar-benar Arin.
Gue. Harus. Ngecek. Arga! batin Arin, takut-takut kalau cowok itu malah mendem di tubuh orang lain. Kan, bisa jadi Arga malah tukeran jiwa sama Abby. Arin sendiri takut membayangkan bagaimana jika Abby bersikap sinis macam abangnya ....
Arin bergidik.
Setelah mengendap-endap menuju rumah Arga, Arin lalu mengetuk pintu rumah cowok itu. Tak berapa lama, wujud Arga membuka pintu.
Arin menatap Arga, sok-sok curiga. “Lo Arga 'kan?” tanyanya.
Senyum Arga mengembang. Jujur, Arin tidak pernah melihat senyum Arga semenarik itu. Eh—tadi Arin bilang apa?
“Kita balik kesemula!” ucap Arga kesenangan. “Anjir, gue kira bakal selamanya ngendep di tubuh cewek lebay kayak lo.”
Arin menyelip masuk ke dalam, cengiran juga masih tertempel di bibirnya. “Lo harus tau gue nyaris teriak karena kaget.”
“Lebay. Lebay,” ledek Arga sambil berlalu menuju dapur, membuatkan dua cangkir teh. “Suka teh 'kan lu?”
Anggukan Arin membuat Arga mengambil dua cangkir teh itu. Arin semakin nyengir kala Arga menyorongkan satu cangkir teh di depan hidungnya.
Arin menerima teh itu, menghirup aromanya sebentar sebelum meminumnya. Tanpa Arin sadari, diam-diam Arga meliriknya, meski hanya sekilas.
“Berarti kita udah selesai, tetangga?” tanya Arin dengan mata menatap lurus ke arah Arga. “Makasih, ya. Lo udah jagain hubungan gue sama Davin. Weleh-weleh, gue kira seminggu aja lo bakal putus sama dia.”
Arga terdiam.
Arin melanjutkan perkataannya. “Sorry, gue sering cengeng di depan lo. Sorry, ngerepotin lo waktu gue sakit. Sorry, lo jadi babak belur dulu, padahal harusnya gue. Sorry, gue ngebuat semuanya jadi gak sesuai harapan lo.”
Lagi, Arga terdiam. Arin sudah gregetan ingin mendengar balasan cowok itu. Menurut Arin, ini saat yang pas untuk berpamitan dengan Arga. Maksud Arin, urusan dia dan Arga sekarang sudah selesai. Dan ... ya, selesai. Arin hanya melakukan apa yang wajar dilakukan dua orang yang terikat sebuah deal.
“Ga, diem aja, sih!” Arin menatap Arga kesal sembari menoel-noel bahu cowok itu. “Jangan-jangan suara lo ilang, ya? Masih ada di gue? Ah, tadi lo ngomong kok. Woi!”
KAMU SEDANG MEMBACA
A Switch - Arin
Roman pour AdolescentsOkay, siapa sih yang tidak kesal karena diperlakukan semena-mena? Lagi, kenapa Arin sangat teramat sial karena bertemu dengan orang jutek, tidak tahu terimakasih, menyebalkan, sinis, macam Arga? Oh God, bahkan di otak Arin masih terpatri jelas omo...