Seminggu yang lalu.
"Kamu tahu rumor itu tidak? Sudah agak lama, loh."
Gadis di depanku ini adalah sahabatku semenjak kecil. Mungkin sejak kelas 1 SD. Namanya Risya. Risya Devin tepatnya. Mengejutkan, bukan? Dulu kami pun kaget ketika tahu memiliki nama yang sama.
Risya, meskipun tampilannya seperti: rambut pirang dikuncir dua bersama setelan manisnya: rok terusan sampai mata kaki dengan corak-corak rumit yang biasa dikenal sebagai profesi healer atau supporter di dunia MMORPG*, wujud aslinya tidak seperti itu. Mau bagaimana pun ini adalah dunia game. Wujudnya hanya berupa animasi semi-realis tiga dimensi, tapi sudah hampir nyata dan mulutnya akan ikut bergerak mengikuti pemainnya. Omong-omong, dia baru saja mengejutkanku dengan berita tak masuk akal.
*[MMORPG: Massive Multiplayer Online Role-Playing Game. MMORPG adalah gabungan dari RPG atau Role-Playing Game di mana sang pemain mengendalikan tokoh utamanya di dalam dunia permainan yang telah terstruktur, dengan MMO atau Massive Multiplayer Online di mana seorang pemain dengan karakter yang ia kendalikan dapat bertemu dengan pemain lain.]
Mataku mengerjap dua kali, mulutku sedikit ternganga. "Kau bilang-apa? Pemerintah mengeluarkan game? Pemerintah yang mana maksudmu?" Yang terakhir itu antara bermaksud canda atau sinis sebetulnya.
Kami berdiri hadap-hadapan di tengah jalan bata gaya Eropa lama-sepengetahuanku dari dunia internet, sih. Di sini hanya ada kereta kuda, jadi kami tidak sama sekali menghalangi jalan. Aku pernah lihat di Kehidupan Lama (sebutan untuk kehidupan sebelum ... aku akan menceritakannya nanti), mobil-mobil mengantre seperti kerubungan semut di jalan. Apa mereka tidak sumpek dengan kehidupan seperti itu?
Kembali ke keterkejutanku, Risya memberengut sampai wajahnya seolah tersedot ke tengah. "Pemerintah yang mana lagi? Yang itu lah! Kamu ke mana saja, Luno? Ini sudah hampir beberapa bulan kabarnya beredar dan kau sebagai pemain MMORPG tidak tahu apa-apa soal itu?"
Aha, mau bagaimana pun aku berbeda dengan Risya. Aku memang sering main, tapi tidak tertarik mencari hal baru. Buktinya aku selalu mengikuti ke manapun Risya pergi. Jadi aku sekadar membalasnya dengan angkat bahu. "Harusnya kamu tahu, kan?"
Risya mendesah berat, namun kemudian tersenyum lagi. "Kau harus tahu apa yang mereka janjikan dari MMORPG itu, Luno," ujarnya semangat.
"Apa?"
Dia menangkap sebelah bahuku lalu mengguncangnya. "Mereka bilang MMORPG yang mereka keluarkan bakal melakukan terobosan baru! Kita bisa merasakan dunia virtualnya secara nyata! Seperti ketika cuaca memang dingin, di sana kita akan menggigil. Atau ketika kita makan, kita akan merasakan makanannya-biarpun memang tidak akan kenyang."
"Tidak akan kenyang?" Entah kenapa itu hal yang paling sensitif kutangkap. "Tapi kalau begitu artinya kita bebas makan sepuasnya, dong?"
"Tepat sekali!" Risya melepas tangannya dari aku lalu mengepalkannya dengan bara semangat. "Kau tidak perlu takut gendut untuk memanjakan lidahmu!"
Lalu aku melanjutkan, "Kapan game-nya keluar?"
Anehnya tak ada angin tak ada hujan Risya tiba-tiba menampar wajahku. Apa-apaan? "Minggu depan, Bego! Kamu ini benar-benar ketinggalan zaman banget, ya!"
"Enggak usah pakai tampar, kali!" gertakku.
"Oh, ya. Dan katanya kita tidak bisa memilih wujud karakter kita. Karena yang ke sana adalah tubuh kita. Anggap saja kita menggunakan mesin teleportasi dan bertemu di dunia lain."
"Begitukah?" Lagi-lagi aku mengerjapkan mata. "Kalau begitu kita sama saja menunjukkan identitas kita, dong?"
"Ya, kalau aku sih tidak masalah. Kapan lagi kita merasakan hidup di dunia luar seperti Kehidupan Lama, Luno?"
Wow. Sial. Entah kenapa aku merasa gugup. Aku menundukkan kepala. Ayolah, maksudku, lihat tubuh fiksi ini. Aku adalah seorang Gunslinger dengan tubuh gagah berani dan kekar, berbeda dengan keadaan aslinya. Rambut ikal agak gondrong, malas merawatnya. Mata beraura gelap yang sama sekali tidak menarik perhatian, dan di atas segalanya, tubuhku kurus. Aku sama sekali berlainan dengan fisik karakterku yang selalu Risya puji karena tampan dan-catat-hanya fiksi.
Mungkin Risya merasa percaya diri dengan tubuhnya sendiri. Dia mungkin tidak jauh beda dengan karakternya yang cantik, makanya dia siap bertemu dengan orang-orang luar.
Akhirnya aku menghela napas, tepat pada saat itu Risya mengacak-acak rambutku dengan gemas. Hal yang selalu ia lakukan kalau gemas denganku-katanya sih begitu. "Luno, Luno. Kapan kamu jadi percaya diri kalau kamu saja menunjukkan wajah kuyu itu pada orang luar?"
Rasanya telingaku memanas. "B-bukan begitu ...."
Risya tertawa kecil. "Percayalah. MMORPG terbaru ini akan membuatmu betah. Latar tempatnya akan sama persis dengan keadaan terakhir kali rakyat tidak menutup diri! Rumah-rumah tidak dibatasi tembok dan katanya akan ada gedung-gedung tinggi yang masih terawat! Ada pusat perbelanjaan di sana. Ada taman hiburan, dan masih banyak lagi!"
"B-benarkah?!" Aku sampai mengangkat kepala lagi.
Risya menyingkirkan tangannya dari kepalaku. "Serius! Tapi tidak lupa." Dia menyipitkan mata sambil menyeringai lebar. "Di sana masih banyak monster-monster yang harus kita buru."
Haha? Tentu saja. Kalau tidak, apa lagi yang bakal mereka bunuh? Pernah sih, aku bermain MMORPG berbasis PvP atau Player versus Player, tapi aku tidak tertarik karena aku harus membunuh Risya. Kenyataan pahitnya malah gadis itu sering membunuhku. Tentu saja aku tidak suka kalah. Bukan karena aku merasa jago, tapi itu hanya akan memperburuk kepercayaan diriku. Untung Risya mau mengerti dengan berhenti bermain game itu dan pindah ke game lain.
"Ngomong-ngomong, sudah tengah malam. Besok masih ada sekolah. Aku off duluan, ya?"
Aku pun mengangguk. "Aku juga selesai kalau begitu. Tapi tunggu. Jadi apa tadi namanya? Before Days Chronicle?"
"Yap," jawab Risya.
Baiklah. Meski banyak keraguan, aku tertarik, kok.
Setelah itu kami benar-benar berpisah. Aku menyebutkan kata escape, dan sebuah antarmuka muncul di depan mata. Lalu kutekan pada kata Quit dan akhirnya kembali membuka mata asliku. Tubuhku sedang berbaring nyaman dalam kapsul. Dengan otomatis, kaca riben berbentuk setengah tabung ini membelah terbuka bersama bunyi desis, masuk ke setiap sisi yang sama melengkung. Aku duduk, berusaha sadar bahwa aku kembali ke tempat membosankan.
Yap, biarpun memejamkan mata hampir seharian, tetap saja aku mengantuk karena otak masih bekerja. Dengan langkah gontai aku menaiki tangga, melewati ruang keluarga di mana Kak Danora sedang menonton drama televisi dan aku terlalu malas untuk menegur sapa. Jadi aku langsung naik elevator menuju lantai dua, di mana semua kamar ada di sana.
Lekas kurebahkan tubuh ini. Kali ini aku memejamkan mata memang untuk mengistirahatkan otak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Days Chronicle [2016]
FantasyBayangkan ketika kita dewasa, keseimbangan ekonomi di seluruh dunia mulai tidak stabil sehingga terjadi banyak pemberontakan dan pembantaian di kota-kota besar, bahkan kota kecil pun. Rakyat miskin menyerbu rakyat kaya, sementara pemerintah tanpa pa...