"Kau tahu? Bagi manusia, terutama generasi setelah kita, dunia seakan-akan hanya membohongi mereka dan berkata bahwa rumah beserta manusia di dalamnya adalah satu-satunya yang dapat dipercaya."
Ya, dia paham. Bahkan tidak perlu diberi tahu dia sudah paham. Pria yang diajak bicara ini mengangguk lesu. "Iya, aku tahu itu, Dit. Tapi tetap saja-"
"Dengar, Rex. Jika kau hanya punya mental sekecil itu, mana bisa kau mewujudkan perubahan seperti yang kau mau?"
Ucapannya membuat lelaki bernama Rex itu bungkam, menunduk tak membalas pertanyaan lelaki di hadapannya. Apa yang harus dia pilih, dalam hati ia memikirkan ini. Dia tahu apa sebabnya manusia-manusia kaya memutuskan untuk mengurung diri di rumahnya demi keamanan, dan satu-satunya cara untuk menyingkirkan apa yang membuat mereka takut adalah mengusir sesuatu yang ada di luar sana. Selamanya. Hanya, tetap saja, ini terasa keliru. Harusnya ada cara lain yang dapat mereka lakukan selain-
"Aku tidak mungkin menunggumu berabad-abad untuk menyerahkan kepemimpinanmu padaku, kan, Rex?"
Apa? Kepemimpinan? Rex mengangkat kepalanya untuk menatap rekannya kembali. Namun, coba lihat apa yang dia temukan. Matanya membelalak, dan tubuhnya yang harusnya memiliki refleks gesit malah membeku di tempat.
Dia hanya tidak percaya. Tidak percaya bahwa rekan terpercayanya menodong pistol padanya. Lubang laras pistol tersebut menatap Rex dalam-dalam. Mata Rex terkunci hanya padanya.
"Aku tidak mau melakukan ini awalnya," ujar si laki-laki bertubuh besar itu, "padahal kau adalah sahabat terbaik, Bung."
Dar!
"Berita hari ini, lagi-lagi para Pemberontak melakukan aksi anarkis dengan mencoret-coret dinding Tugu Monas, bahkan melemparnya dengan petasan sebagaimana mengerikannya bunyi bom membahana.
"Para warga sekali lagi ditegaskan untuk tidak keluar dari wilayah dinding pembatas pekarangan masing-masing, karena dikhawatirkan para Pemberontak akan merampas apa yang warga miliki dalam sekali tangkap mata."
Orang-orang bodoh itu berkeliaran di halaman Tugu Monas, berkoar-koar seperti makhluk buas dan melemparkan petasan ke arah monumen. Baju mereka compang-camping, sebagaimana orang miskin berbusana, dan sesekali kamera yang menangkap kejadian dari udara mendapat momen ketika salah satu Pemberontak mengacungkan jari tengah pada kamera. Wajah itu, wajah yang sangat ingin kuhantam dengan panci. Dia menjulurkan lidahnya semaksimal mungkin-bisa jadi menyentuh ujung dagu, dan matanya bulat menatap seram seolah benar-benar tertuju padaku.
"Rusaklah Indonesia! Rusaklah dunia!" samar-samar suara itu terdengar di tengah kericuhan.
Di sini aku duduk termenung memandangi televisi meraung-raung, sedih pada kondisi dunia saat ini. Bagaimana bisa manusia-manusia itu merusak monumen yang bahkan belum pernah kulihat dengan mata kepala sendiri? Aku ingin marah pada mereka, bagaimana jika suatu saat aku punya kesempatan berkunjung ke sana dan tugu itu sudah binasa? Aku tidak akan pernah tahu mengapa warga negara bahkan turis dulunya berbondong-bondong datang ke tempat tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Days Chronicle [2016]
FantasiBayangkan ketika kita dewasa, keseimbangan ekonomi di seluruh dunia mulai tidak stabil sehingga terjadi banyak pemberontakan dan pembantaian di kota-kota besar, bahkan kota kecil pun. Rakyat miskin menyerbu rakyat kaya, sementara pemerintah tanpa pa...