5

135 13 3
                                    

Aku lupa kalau ini adalah dunia game

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku lupa kalau ini adalah dunia game.

Menyelipkan tangan di dalam saku jaket, aku tetap menengadah memandangi gedung-gedung kaca yang memantulkan langit biru serta awan, menghirup udara luar, juga melangkah menyusuri trotoar untuk pejalan kaki. Lagi pula bukan aku saja yang bertualang sendirian gara-gara terpukau oleh wajah Kehidupan Lama, jadi aku tidak minder-minder amat.

Di seberang jalan yang membentang luas padahal tidak satu pun kendaraan lewat, terdapat gedung paling tinggi sehingga mencolok di antara lainnya. Namun, lebarnya tidak seberapa. Letaknya berada di tengah hamparan bata pada sudut jalan yang membentuk sembilan puluh derajat. Di pinggir bahu jalan tepat pada seberang pintu masuk, terdapat nama gedung yaitu BDC GM OFFICE diukir biru gelap di atas marmer kelabu mengilap. Hal tersebut membuatku heran sebab dalam permainan-permainan sebelumnya aku tidak pernah menemukan adanya gedung kantor khusus GM sendiri. Mereka sekadar tiba-tiba muncul di tengah kota, mengajak bicara para pemain, kemudian hilang begitu saja-itu yang ada di sudut pandangku, sih. Maklum kurang gaul.

Omong-omong, GM adalah singkatan dari Game Master, yaitu orang-orang yang mengatur sistem permainan sedemikian rupa; mulai dari acara, NPC*, gameplay, dan lain-lainnya. Tentu saja siapa pun bisa menjadi GM asal memenuhi syarat, seperti melamar kerja saja. Sayangnya aku tidak tertarik dengan perkumpulan itu.

*[NPC: Non-Player Character. Bukan seorang pemain dan dikendalikan oleh komputer. NPC biasanya bertugas untuk mendukung plot cerita.]

Meski begitu, kata GM sama sekali tidak mengingatkanku bahwa ini adalah dunia game dan harusnya tujuan pertamanya adalah mencari Risya. Dia terlalu larut mengamati berbagai macam toko, kafe, dan restoran di setiap pinggir dan sudut jalan. Terutama karena aroma bumbu dapur yang tengah dimasak oleh restoran bernama Vereda Bistro yang baru saja dilewati.

"Kira-kira ...," gumamku tanpa sadar sambil mengelus perut, padahal baru saja makan di rumah. Dasar bodoh.

Tapi, makan di sini bisa terasa juga tidak, ya? Seperti kata Risya, kan?

Iya, kata Risya.

Hmm, tunggu sebentar. Rasanya ada yang tertinggal ....

"Eh, anjir. Lupa si Risya!" Aku menepuk kening. Duh, bahaya kalau anak itu sampai mengamuk.

Biasanya kalau aku menyebutkan kata kunci antarmuka, sebuah antarmuka akan langsung muncul di depanku. Anehnya sejak tadi aku sudah menyebutkan kata kunci seperti "antarmuka kontak", "antarmuka ruang obrol", atau "antarmuka daftar teman", tetap saja tidak muncul apa pun. Bahkan kata kunci umum seperti "antarmuka status" atau "antarmuka status karakter" juga tidak muncul. Apakah Before Days tidak menerapkan sepenuhnya sistem MMORPG? Atau aku sendiri yang eror?

Menoleh ke belakang, aku jadi terpikirkan. Sepertinya aku harus kembali, tanya-tanya pada orang-eh, jangan. Tanya ke gedung GM tadi saja. Karena bagiku bicara dengan orang asing tidak ada bedanya dengan bicara pada sekumpulan ikan piranha. Otakku saja yang jalan, tapi mentalnya serenyah kerupuk. Aku takut disangka bodoh duluan oleh orang asing. Akhirnya kuputuskan pergi ke gedung GM saja. Sebaik mungkin kusamarkan kebingunganku selagi jalan kembali ke tempat awal: sebuah halaman kosong menyerupai lahan parkir dan diapit dua buah gedung. Kakiku tergesa-gesa menyeberangi jalan yang super luas seakan bisa dijadikan papan selancar Godzilla-monster di film kesukaan ayahku dulu.

Before Days Chronicle [2016]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang