Bab 3

81 2 0
                                    

Seorang anak perempuan menangis di depan pintu toilet umum. Riuhnya lalu lalang orang lewat di dalam stasiun dan suara kereta yang baru tiba menenggelamkan suara tangis anak itu. Tak kencang dan tak terlalu jelas memang, namun cukup parau didengar orang yang berada di sekitarnya.

Tak lama seorang pria berjaket biru mendekatinya. Ia mengenakan kacamata dan topi. Wajahnya juga ditutupi oleh masker. Si Pria dan anak tersebut terlihat bercakap-cakap. Namun tiba-tiba sang pria menggendong anak itu dan membawanya menjauhi toilet. Sang anak terlihat sedikit memberontak. Namun sang pria seakan tidak peduli.

Reina, salah satu orang yang melewati dan melihat ke arah mereka. Ia merasa curiga karena sang pria mengenakan kostum seperti seorang penculik.  Selain itu, ia melihat sang pria aneh tersebut berjalan cepat sambil celingak-celinguk seakan diawasi.

Duh! Jangan-jangan benar penculikan, nih? Pikir Reina dalam hati. Ia ingin sekali mendekat dan menanyakannya langsung. Namun ia ragu. Khawatir ternyata benar dan ia justru malah terlibat masalah. Ia memutar otaknya cepat. Ah, bagaimanapun ia harus berani mencegat mereka.

Reina terus mengawasi pria tersebut. Dari belakang pelan tapi pasti mendekat ke arah pria itu. Kemudian dengan sigap merogoh tas nya, mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk senjata. Sebuah payung lipat, untuk pertahanan diri. Hanya itu yang ia punya kalau-kalau ia tiba-tiba diserang. Tanpa pikir panjang lagi,  Reina langsung menepuk pundak pria berjaket tadi.

"Woi..! Mau dikemanain tuh anak? Mau nyulik lo, ya?!"

Mendapati seorang wanita menepuknya dengan kasar membuat pria berjaket itu menoleh kaget. Tangan sebelah kanan masih menggendong anak tadi. Sedangkan satunya cepat mencopot masker yang dipakai di wajahnya.

"Bu.. Bukan Mbak...! Saya bukan penculik." jawab pria itu panik. Membuat Reina makin curiga. Reina melihat anak kecil yang digendong si pria. Lebih baik ia tanya langsung ke si anak.

"Adik manis...Adik kenal nggak sama Om ini?" tanya Reina dengan lembut sambil mengusap kepala anak yang masih menangis itu. Reina menatap si anak dan pria itu bergantian. Si anak hanya menggeleng.

"Tuh kan... Dia aja nggak kenal lo siapa. Pasti mau nyulik kan lo...?" cecar Reina. Tangannya menunjuk-nunjuk pria itu. Sementara wajah si pria terlihat makin bingung. Ia merendahkan kepalanya agar bisa berbicara dengan gadis itu lebih dekat.

"Maaf Mbak... Saya memang bukan keluarganya. Tapi saya justru mau tolong anak ini mencari Ibunya." jelas si pria mencoba mengelak tuduhan. Wajahnya menatap Reina. Kali ini wajah mereka hanya berjarak 5 cm. Reina mundur satu langkah. Sekarang dia yang gugup.

"Oh, ya?!"  Balasnya ketus. Meski gugup ia harus tetap terlihat berani.
"Kalau Mbak nggak percaya,  kita sama-sama deh ke ruang informasi." ucap si pria mencoba menenangkan keadaan. Wajahnya pasrah. Sepertinya gadis itu tak akan percaya meski ia ngaku bukan penculik berkali-kali. Reina menatap pria itu. Mungkin ia salah paham. Mungkin juga tidak. Bagimanapun ia harus memastikan bahwa anak ini baik-baik saja sampai urusannya selesai.
"Yaudah kalo gitu. Ayo!" jawab Reina cepat.

Kepalanya memberi instruksi untuk jalan sekarang. Reina melirik jam di tangannya.  Ia sudah telat tiga puluh menit menuju lokasi meeting. Seminggu ini ia harus menyelesaikan proyek kerjasama dengan rekannya di Semarang. Berat sebenarnya bagi Reina meninggalkan keluarga meski hanya seminggu.  Ini karena adiknya baru saja keluar dari rumah sakit. Ia ingin berbagi tugas menjaga Haris di rumah. Namun poyek yang sudah diundur dari dua minggu yang lalu ini, akhirnya baru bisa ia pegang sekarang.

---Di Ruang Informasi---

Sudah menunggu seorang wanita yang juga mengadu ke ruang informasi. Saat mengetahui anaknya ditemukan ia langsung menghampiri pria yang sedang menggendong anak perempuannya.

"Ya Allah.. Makasih ya Mas.  Kalau nggak ada Mas,  saya nggak tahu cari dimana..." ucap sang Ibu dengan wajah yang sudah basah air mata.

"Ibu lain kali hati-hati, Bu. Untung yang nemuin orang baik. " Ujar sang petugas informasi dengan muka penuh kelegaan.

"Iya Bu,  Tidak apa-apa.  Saya kebetulan lewat di depan toilet itu,  terus lihat anak ini menangis saya samperin. Karena memang saya tidak lihat siapapun bersama dedek ini." sahut sang pria berjaket menjelaskan kepada seisi ruangan.

"Iya, Mas.  Saya tadi lagi beli roti di sana." Tangannya menunjuk ke salah satu coffee shop di sebrang rel.
"Oh gitu.. " si Pria mengangguk-angguk menyimak.
"Iya.. Tadi lagi antri desak-desakan. Tempat duduk juga penuh.  Saya suruh anak saya ini menunggu di depan. Saat saya keluar,  dia menghilang. Saya sudah cari di toilet juga padahal.  Tapi nggak ketemu. Saya langsung lapor ke petugas.  Untungnya gak lama,  mas nya nemuin.  Ya Allah.  Alhamdulillah..."

"Iya Alhamdulillah... Kamu jangan jauh-jauh lagi dari mama kamu ya,  Dek." Ujar si pria berjaket mengelus kepala anak perempuan itu. Si anak hanya mengangguk.

Sang Pria melirik ke arah Reina. Wanita yang diliriknya hanya menunduk. Seolah tahu apa yang dipikirkan wanita itu, ia tersenyum. Entah mengapa ada sebersit rasa menang menyelinap di hatinya.

Reina yang dari tadi sudah salah paham hanya bisa terdiam. Rasanya ia ingin cepat-cepat keluar dari ruangan. Ia sungguh tak berani menatap pria yang berdiri di sebelahnya itu karena malu.

"Baiklah kalau begitu,  saya permisi dulu ya, Bu."

Pria berjaket biru berpamitan. Diiringi ucapan terimakasih berkali-kali dari si Ibu dan Bapak Petugas Informasi. Sebelum melangkah pergi ke luar ruangan,  ia mencolek pundak Reina.

"Ayok!" ajak pria itu setengah menyuruh.  Reina hanya mengangguk dan mengikuti ke luar ruangan.

Beberapa menit mereka berjalan, tak ada satu pun ucap yang keluar dari mulut keduanya. Ingin sekali Reina mengucapkan maaf karena rasa bersalah,  tapi rasa malu yang drasakannya saat ini lebih besar dari rasa bersalahnya.

"Lo nggak mau minta maaf sama gue?" Pria berjaket memulai percakapan. Tak ada tatap.  Keduanya memandang berlawanan arah.

"Gue tahu lo bermaksud baik, tapi tetep aja lo udah nuduh gue penculik." timpalny lagi. Reina makin tersudut. Tidak mau berlarut. Akhirnya ia memberanikan diri buka suara.

"Hemm..  Maaf ya Mas.  Saya minta maaf banget,  saya sudah salah paham. Saya juga sudah kasar sama mas nya. Bener deh,  saya bingung kalo saya nggk kasar,  nanti jadi saya yang dikasarin. Duh.  Gimana ya.. " Reina salah tingkah. Ia masih tak berani menatap pria itu.

Meskipun ia masih jengkel dengan perlakuan Reina yang menuduhnya penculik,  Pria itu tahu wanita itu hanya ingin menolong. Kata-katanya pun terlihat tulus. Mungkin ia sudah merasa menyesal.

"Oke.  Gue maafin. Udah lo nggak usah merasa bersalah. Gue tahu lo begitu karena berpikir gue mau nyulik, kan."

"Iya maaf banget ya Mas. Saya salah.. Maaf."

"Udah nggak apa-apa.  Gue cabut ya. Duluan"

Sang pria berjaket biru tidak ingin memperpanjang urusannya dengan gadis itu. Ia menatap Reina sekilas.  Mengangguk berpamitan,  kemudian pergi.  Meninggalkan Reina yang masih berdiri di tempatnya. Kakinya terasa kaku. Ia hanya menatap Pria itu berlalu. Ada sedikit rasa sesal hadir kini. Pria baik itu, ia belum sempat kenal siapakah namanya.

Reina dan Cinta KeduaWhere stories live. Discover now